[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Gambar : Suasana Kongres ke IV PDIP di Bali 12 April 2015 (sumber: www.bbc.co.uk)"][/caption] Polemik pernyataan ibu Megawati terkait posisi Presiden Jokowi sebagai petugas partai sampai detik ini masih hangat untuk dibicarakan. Meskipun sebenarnya ungkapan petugas partai hak asasi Ibu Megawati selaku Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang secara sah terpilih kembali pada Kongres PDIP ke IV di Bali tanggal 12 April lalu. Tentu saja meskipun istilah petugas partai menjadi hak ketum PDIP tersebut, tentu akan menjadi banyak penafsiran, dan secara otomatis menjadi silang pendapat apakah sampai sejauh ini Ketum PDIP beberapa periode tersebut masih saja mencengkeram kuat di pundak Presiden Jokowi? Tentu tidak semudah untuk diambil kesimpulan. Apalagi sejauh ini Presiden Jokowi memang kader PDIP yang telah memenangkan kontestasi politik di negeri ini, sehingga amat wajar seorang Ketua Umum tetap menganggap kadernya sebagai petugas partai. Meskipun pada akhirnya Ibu Megawati menjadi bulan-bulanan netizen yang "tersinggung" dengan penyebutan petugas partai. Padahal secara historis seorang kader partai memang mendapatkan tugas "amanah" dari partai untuk mengelola negara ini dengan sebaik-baiknya beradasarkan konstitusi negara dan garis besar haluan partai tersebut. Terkait elok dan tidak elok penggunaan istilah petugas partai, tentu akan berbeda antara PDIP sendiri selaku induknya Presiden Jokowi, dan rakyat pada umumnya yang merasa telah memilih semata-mata Jokowi secara personalnya, dan tidak mengaitkan dengan keberadaan PDIP selaku perahu yang membawanya memenangkan kontestasi politik tersebut. Belum lagi ketika dipadu padankan dengan istilah "jongos" menurut para netizen, tentu akan berbeda prinsip dalam hal ini. Mengingat jongos atau babu sebenarnya cukup merendahkan presiden Jokowi yang memiliki kewenangan di negara ini. Belum lagi jika identitas petugas partai tersebut sengaja digulirkan demi menjerat kinerja Jokowi yang ingin melayani rakyat tapi justru "harus" melayani partai. Meskipun hal ini tidak terbukti. Bagaimana tidak, beberapa agenda Ibu Megawati yang sejatinya ingin menempatkan presiden Jokowi selaku kader yang harus di bawah kendali mutlak partai ternyata sampai saat ini tidak terbukti. Dalam langkah kerjanya, banyak keputusan yang menurut beberapa pengamat adalah perintah Ketum PDIP tersebut, ternyata dianulis dan Presiden Jokowi ternyata memberikan keputusan berbeda. Budi Gunawan yang batal menjadi Kapolri lantaran tidak dilantik Presiden Jokowi. Presiden Jokowi tidak mau secara mentah-mentah menelan perintah atasanya di partai, disebabkan karena beliau lebih memilih suara rakyat, di mana suara rakyat sampai saat ini tidak menghendaki sosok yang tersangkut persoalan hukum untuk menjadi pejabat negara. Satu keputusan di atas sudah menunjukkan meskipun dalam tataran partai beliau adalah benar petugas partai, tapi di tataran kebijakan sama sekali keluar dari konteks perintah partainya. Tentu saja beliau memandang jabatan Presiden adalah mengejawantahkan titah partai, akan tetapi tidak melawan dengan kehendak rakyat apalagi konstitusi RI sendiri. Posisi presiden Jokowi akan jauh sekali bedanya dengan kepemimpinan Soeharto kala itu yang benar-benar menjadi ujung tombak keinginan partai berlambang pohon beringin tersebut. Selain perbedaan yang mendasar apa yang dialami presiden Jokowi dengan presiden sebelumnya, beliau sangat tegas ingin memberantas korupsi, meskipun yang terlibat korupsi adalah "kawan" satu partainya. Semua mekanisme penegakan hukum diberikan sepenuhnya kepada KPK dan Polri yang memang memiliki wewenang tersebut. Jadi indikasi bahwa Presiden Jokowi "mutlak" petugas partai nyatanya tidak terbukti. Beliau menghormati kebijakan partai karena beliau semata-mata sebagai seorang kader yang harus mengemban amanah partai dalam menjalankan roda pemerintahan, tapi akan memiliki kemampuan untuk menolak jika apa yang diperintahkan oleh partai berseberangan dengan keinginan rakyat. Boleh jadi dengan beberapa sikap independen Presiden Jokowi tatkala melawan titah Ketum Partai bisa disebut sebagai proses perlawanan. Dengan kata lain Presiden Jokowi benar-benar ingin menempatkan dirinya secara utuh sebagai presiden (kepala negara) dan bukan semata-mata sebagai petugas partai. Namun, sayang sekali, cara Ibu Mega menyampaikan pidato seolah-0lah beliau berada di atas posisi presiden, meskipun pada pertemuan itu kapasitas Presiden Jokowi seorang kader PDIP yang diundang oleh partai. Ketika dalam situasi segalanya terbuka, semua media meliput, mengomentari dan menafsirkan sendiri-sendiri istilah petugas partai tentu akan banyak muncul sentimen di dalamnya. Kesalahan dalam menggunakan kosa kata ternyata justru menjadi bola panas yang menghantam Jokowi dan Megawati sendiri selaku ketua umum terpilih. Bahkan menurut beberapa pengamat, PDIP memang selamanya akan dibawah kendali Ibu Megawati, meskipun generasi sudah berubah, dan mantan Presiden Soekarno tidak pernah mengatakan bahwa kendali partai berada di bawah lingkungan keluarganya. Tapi itulah keanehan, meskipun ada banyak calon ketua umum yang sebenarnya memiliki kompetensi, ternyata tidak ada satupun yang berani menggantikan Megawati sebagai ketum yang baru. Trah Soekarno turut menjadi fenomena yang tak terpecahkan sampai saat ini. Entah, apakah kader-kader PDIP sengaja membiarkan partai ini besar dahulu di bawah kepemimpinan Megawati, untuk kemudian diambil alih jika beliau sudah wafat? Entahlah. Yang pasti sejauh ini keberadaan Puan Maharani yang dielu-elukan dapat menggantikan posisi sentral Megawati ternyata masih jauh dari yang diharapkan. Akhirnya, dalam situasi kongres dan posisi Presiden Jokowi adalah kader yang diundang, maka wajar saja ketua umumnya mengatakan bahwa beliau adalah petugas partai, wakil partai yang mengemban amanah rakyat. Bukan hanya Presiden Jokowi yang petugas partai, karena anggota legislatif, para menteri dan semua kader partai adalah semata-mata mengemban tugas dari partai. Namun demikian, bukan berarti harus menempatkan Jokowi atau presiden-presiden lainnya sebagai pesuruh yang tidak memiliki hak prerogratif atas kebijakannya sendiri selaku kepala negara. Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H