Persoalan Pilpres 2014 masih santer menjadi bahan perbincangan, bahkan hingga detik ini, MK pun masih fokus menyelesaikan kasus sengketa pilpres ini. Sengketa gugatan yang awalnya tentang hasil quick count yang memiliki perbedaan, menjurus pada dugaan ketidakvalidan pada data Form C1 yang diupload ke website KPU, kemudian melebar lagi pada persoalan tuduhan ada pelanggaran yang dilakukan oleh KPU terkait DPKTb yang juga mencuat dan semakin memanas akhir-akhir ini.
Tidak hanya persoalan DPKTb, karena gugatan pihak Prabowo-Hatta semakin bias lantaran menggugat persoalan Noken, sistem pemilihan umum yang diwakili kepala suku yang ada di daerah tersebut. Meskipun Noken memang diakui oleh undang-undang namun ternyata masih juga digugat lantaran mereka mengganggap proses pemungutan suara tidak Luberjurdil, dengan berbuah pertanyaan Kenapa Memilih Harus Diwakilkan? Meskipun masyarakat Papua sendiri tidak berkeberatan dengan pola Noken tersebut sebagai bagian dari adat dan budaya mereka.
Persoalan demi persoalan pun semakin bertambah runyam, bahkan menjadi persoalan yang amat rumit, sampai-sampai beberapa pengamat menghendaki adanya pemilihan ulang di wilayah yang ternyata pemilihnya menggunakan KTP meskipun mereka tidak berdomisili di daerah tersebut.
Akan tetapi, tulisan kali ini mengisahkan perjalanan seorang pekerja yang kebetulan orang tua sendiri yang telah merantau di Jambi, demi mencari sesuap nasi.
Tepatnya H-7 pemilihan presiden digelar, ayah sudah meluncur ke Propinsi Jambi, karena hendak mengerjakan proyek Konstruksi Pembuatan Ruko.
Dan tepat tanggal, 9 Juli, ayah bersama rekan-rekan sepekerjaan, berduyun-duyun menuju tempat pemungutan suara. Nomer TPSnya kebetulan saya tidak menanyakannya. Tapi apalah dikata, pihak KPPS di TPS tersebut justru menolak pendaftaran ayah dan rekannya dengan alasan tidak berdomisili di daerah ini.
Ayah tidak lekas meninggalkan tempat pemungutan suara, tapi mengatakan bahwa beberapa hari yang lalu melihat tayangan berita di TV bahwa pendatangpun bisa melakukan pencoblosan jika menunjukkan KTP. Setelah menyampaikan informasi dari TV tersebut, beliaupun kembali ke kontrakan dengan perasaan kecewa. Kecewa karena niatnya untuk melakukan menyalurkan aspirasi ternyata harus terkendala lantaran tidak berdomisili di daerah tersebut.
Tidak hanya ayah, karena semua teman-teman serombongan, menyampaikan rasa kecewanya. Meskipun di antara calon pemilih tersebut tidak menyebutkan siapa yang akan dipilih lantaran semuanya bersifat pribadi atau urusan privacy seseorang.
Namun tanpa dinyana, beberapa saat beliau kembali ke kontrakan, tiba-tiba seorang petugas KPPS memberikan kartu pemilih dan orang tua dicatat sebagai Daftar Pemilih Tetap, tapi menggunakan KTP, atau masuk kategori DPKtb. Karena mendapatkan undangan tersebut, rasa senang dan puas karena dapat memilih pun akhirnya mereka rasakan.
Meskipun para pemilih tambahan non domisili tersebut sudah dapat menyalurkan suaranya dengan benar karena sesuai dengan hati nurani, ternyata akhir-akhir ini justru DPKTb digugat dengan alasan karena tidak berdasarkan undang-undang. Padahal adanya DPKTb adalah mengakomidir dan memfalisitasi para pemilih yang kebetulan berada di wilayah lain agar dapat menunaikan haknya sebagai warga negara.
Padahal jika ternyata orang tua dan rombongan tersebut tidak diperkenankan memilih di Jambi tersebut tentu saja akan menelan kekecewaan. Dan boleh jadi, ada banyak calon pemilih yang terpaksa Golput, atau kehilangan hak pilihnya lantaran hak-haknya tidak terpenuhi. Hal tersebutlah yang mendorong KPU untuk mengeluarkan aturan dibolehkannya pemungutan suara dengan menunjukkan KTP meskipun tidak berdomisili di daerah tersebut. sumber