Puji syukur kepada Allah SWT, karena 21 April 2014, bangsa Indonesia kembali terhanyut pada gelora Hari Kartini. Sosok pejuang emansipasi wanita. Karena perjuangannya lah sejatinya saat ini telah terlahir para Kartini baru yang benar-benar mendapatkan haknya sebagai bagian masyarakat yang kompleks. Masyarakat yang tak hanya menganggap para wanita sebagai sosok subordinat, sosok yang tak memiliki peran apa-apa bagi bangsanya.
Dialah Kartini, sosok pendidik yang juga kebetulan memiliki hasrat dan cita-cita akan emansipasi wanita, sosok para wanita yang peduli dihargainya keberadaan wanita dan menginginkan setiap wanita tidak hanya sebagai orang yang dianaktirikan dalam kancah kehidupan sosial.
Tak hanya para pendidik yang benar-benar menjadi Kartini baru, namun perempuan-perempuan hebat yang telah sukses mengangkat derajat dirinya dan orang-orang di sekitarnya dengan semangat mambangunkan para wanita ini setelah sekian lama tertidur dalam mimpi akan kesetaraan gender.
Menjadikan dirinya merdeka dan tak ada satupun yang berhak menjajah harga dirinya, tak juga orang tuanya apalagi para suami-suami yang selalu mengebiri cita-cita wanita. Cita-cita yang benar-benar ingin membebaskan diri menuju puncak karya yang tertinggi setinggi langit. Bebas bermakna terkendali, bukan bebas sebebasnya tanpa dikendalikan oleh pemaknaan pada hakekat kemanusiaan.
Tapi, apakah benar Kartini-kartini sekarang sama dengan cita-cita RA. Kartini masa lalu? Apakah wanita sekarang benar-benar mengikuti apa yang dicontohkan pahlawan kesetaraan gender tersebut? Jawabannya ada pada wanita sendiri. Namun jika kita mau menelaah betapa jasa sosok Kartini pun hakekatnya tidak pernah meninggalkan eksistensi kewanitaannya. Kartini tetap saja menjunjung budaya bangsanya tanpa melepaskan kehormatan dirinya di hadapan orang lain, apalagi melepaskan jubah kehormatan di hadapan bangsa lain.
Memang benar saat ini Indonesia sudah memiliki banyak Kartini baru yang sudah berkiprah di segala bidang. Baik menjadi politisi, pengusaha, wirausahawan, maupun pendidik sekalipun muncul karena desakan kebutuhan akan hak-hak kebebasan dan kesetaraan wanita. Bahkan jika diamati dengan seksama, para wanita Indonesia pun saat ini benar-benar diberikan kebebasan untuk menentukan pilihannya sendiri. Pilihan yang sejatinya harus menjunjung harga dirinya sendiri dan harga diri bangsanya.
Tapi jika melihat fenomena wanita saat ini, para wanita sudah mulai kehilangan jati dirinya sebagai sosok yang kodratnya melahirkan, mengandung, melahirkan dan menyusui anak-anak mereka. Mereka seperti menentang sunah Tuhan bahwa kesetaraan wanita dengan pria pun sepatutnya tidak mengorbankan kodratnya yang diberikan oleh Yang Maha Mengatur kodrat tersebut. Bahkan sepatutnya para wanita ini bersyukur, karena mereka telah menjadi makhluk terpilih untuk menurunkan generasi-generasi pemimpin baru yang diharapkan lebih baik dari generasi pendahulunya. Tentu saja jika para wanita ini menjaga buah hatinya dengan sebaik-baiknya bersama suaminya. Tidak membiarkannya mereka "liar" seperti tak tentu arah. Menjadikan benih-benih unggul yang terlahir dari rahimnya sebagai sosok yang benar-benar siap mengantikan para pemimpin pendahulunya. Hanya para ibu yang berjiwa Kartini yang mampu melahirkan generasi-generasi pilihan bagi bangsanya.
Miris jika melihat para Kartini abad ini, mereka justru seperti membiarkan generasi penerusnya terbengkalai, mereka meraih cita-cita tertinggi tapi anak-anak mereka dikorbankan demi lembaran-lembaran rupiah, tak hanya kodrat yang digadaikan harga diripun seperti tak bermakna apa-apa. Tubuh-tubuh indah mereka seperti dijual kepada orang lain atas nama kebebasan berekspresi, aurat mereka diumbar seperti mempertontonkan kemolekan tubuhnya. Padahal semua itu hakekatnya adalah harta yang paling berharga miliknya.
Mereka membiarkan orang lain melucuti pakaiannya demi mendapatkan predikat kebebasan dan emansipasi, bahkan ada di antara mereka justru menjadikan tubuh mereka seperti komoditi yang layak dijual belikan.
Namun demikian, di antara para wanita yang terlihat syur dengan pakaian hot, dan mengundang syahwat, ternyata ada saja para wanita Kartini yang benar-benar menghargai dirinya sendiri dan menjaga generasi penerusnya tetap berjalan dalam ruh kehormatan yang amat dijunjung bangsa ini.
Semoga para Kartini-kartini baru, tak hanya sebagai wanita penggoda, penggoda dengan indahnya rupa dan tubuhnya, tapi mereka mendermakan kecerdasannya serta kiprahnya demi membangun generasi terbaik bangsa agar mampu menjadi pilar kokoh tegaknya bangsa ini menjadi bangsa yang bermartabat.