[caption caption="Pilkada Serentak Tanggal 9 Desember 2015. Pastikan Anda terdaftar sebagai pemilih di kota Anda"][/caption]
Beberapa hari ini alam pikiranku agak terhanyut dalam hayalan kosong, kosong karena yang ada dalam pikiranku itu sejatinya adalah milik para petinggi, tokoh-tokoh agama dan pemilik meja hijau yang notabene berkaitan dengan persoalan politik, hukum, etika maupun moral.
Persoalan politik yang semestinya bukan bagian pemikiran saya selaku masyarakat desa, tentu memikirkan hal-hal yang "ruwet" itu cukup menguras energi dan pemikiran yang tak habis-habisnya. Maklum saja, sebagai masyarakat desa, tentu tak ingin urusan yang semestinya adalah otoritas "orang gedean" atau politisi itu ternyata cukup membuat pusing tujuh keliling. Tak dipikir jadi kepikiran, gak dipikirkan setiap hari jadi omongan. Wajar, sedikit demi sedikit rambutpun mulai ada ubannya. Meskipun bukan politisi tapi gaya bicaranya ala politisi senayan.
Apalah dikata, meskipun berusaha untuk tidak membicarakan masalah yang tengah trend saat ini, faktanya saat ini saya masih menjadi salah satu penyelenggara Pilkada di kota yang saya diami ini. Kota Metro yang katanya kota kecil toto tentrem kerto raharjo, loh jinawi, subur tanahnya, indah panoramanya dan ramah tamah penghuninya. Tapi ya itu tadi, meskipun berusaha menghindar dari membicarakan persoalan yang ngetrend tersebut ternyata mau tidak mau tangan ini tak bisa diajak berunding. Kepinginnya menulis apa yang ditemui.
Apa sih yang lagi ngetren saat ini? Masalah teroris? Jatuhnya Crane di Arab Saudi? Atau pengungsi Suriah yang saat ini berlabuh di daratan Eropa mencari perlindungan diri?
Bukan, saya tidak ingin membicarakan isu politik dunia yang sejatinya lebih pantas dibicarakan oleh Menteri Luar Negeri, atau Panglima TNI karena isyunya mengarah kepada keamanan negara.
Ini beda, NPWP, yang dahulu saya kenal sebutan ini karena warga negara yang baik harus memiliki nomer identitas bagi pembayar pajak untuk negara. Gak kaya atau miskin "semestinya" memiliki nomor ini lantaran harus mengiur kepada negara atas hasil usaha yang dijalankan. Tapi NPWP ternyata beralih makna menjadi Nomor Piro Wani Piro, jika diterjemahkan dalam bahasa Jerman artinya Nomor Berapa Berani Berapa?
Walah, apa lagi ini? kog bahasanya sudah tawar menawar begini? Apakah ini jual beli daster? Atau pakaian bekas? Kog bisa-bisanya Nomor Pokok Wajib Pajak beralih rupa menjadi bahasa transaksi yang "katanya" berkaitan dengan transaksi keuangan ala para politisi. Ketika rakyat ingin memilih, maka rakyat menentukan tarifnya.
Layaklah sebuah transaksi yang benar-benar sudah dianggap legal, padahal ini ilegal, benar-benar transaksi yang diluar nalar apalagi hati nurani. Tapi, sebenarnya siapa sih yang mula-mula mengeluarkan statement atau istilah ini di dunia perpolitikan di negeri ini?
Setelah saya runut-runut ternyata tidak ada jawaban pasti. Namun yang menjadi persoalan apakah istilah ini merupakan penawaran rakyat sendiri agar suara mereka "dibayar" dengan beberapa lembar uang? Atau murni inisiatif para politisi yang ingin menjaring suara dengan cara menggunakan istilah agar terlihat sah-sah saja? Entahlah, saya kurang bisa memahami bahasa politik seperti ini.
Namun, fenomena ini cukup membuat miris dan mengkhawatirkan di dalam sistem perpolitikan di negeri ini. Jika setiap ajang pesta demokrasi selalu muncul istilah NPWP, walah tentu yang bisa memenangkan konstelasi politik adalah para pengusaha kaya, politisi yang sudah berkuasa atau pemilik warisan trilyunan karena mereka bisa mengolah hartanya itu untuk menjaring suara.