Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Konflik Perkalian Matematika Anak SD, Bukti Pendidikan Kita Belum Optimal

23 September 2014   18:04 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:50 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

[caption id="" align="aligncenter" width="401" caption="Pendidikan dasar merupakan pondasi penting pendidikan selanjutnya. Sehingga keberhasilan dan kesuksesan pendidikan lanjutan diawali dari pendidikan dasarnya. Salah atau benar dalam mendidik, akan mempengaruhi masa depannya. (Gambar: jambiexpress.co.id)"][/caption] Beberapa hari ini saya turut prihatin dengan apa yang dialami oleh para netizen, mereka berdebat tentang konsep matematika yang sejatinya sudah jelas aturannya. Meskipun ada perbedaan persepsi hakekatnya keduanya tidak boleh disalahkan. Lantaran dikembalikan pada konsep matematika adalah agar kita bisa berhitung. Minimal berhitung angka. Rumitnya persoalan yang terjadi dan meruncing menjadi perdebatan panjang pun tak lepas dari kualitas masing-masing personalnya. Saya tidak mengatakan bahwa seorang sarjana teknik yang membantu adiknya menyelesaikan soal itu kurang mengerti, karena menurut beliau hakekatnya sama saja dalam istilah matematika karena hasilnya juga sama. Berbeda dengan guru yang secara gitu loh memang sudah berpengalaman dengan pengalaman terkini. Apalagi beliau adalah guru matematika dan sepertinya lulusan pendidikan matematika dengan dengan titel S.Pd. di bidang yang sama. Ditambah lagi seorang guru selalu ter-update dengan informasi-informasi terbaru yang tidak boleh dianggap remeh. Mereka mendapatkan pendidikan matematika, ditambah lagi dengan diklat dan pelatihan tentang kurikulum dan pelajaran matematika yang juga membantu mereka dalam melaksanakan tugasnya agar lebih profesional. Jadi harapannya apa yang dilaksanakan benar-benar sesuai dengan standar baku dan kebenaran mutlak ala matematika, karena matematika adalah ilmu pasti yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, menurut saya. Entah jika ada aturan baru yang membolehkan melakukan penjumlahan atau perkalian misalnya dengan cara baru meskipun tidak menggunakan aturan baku. Tentu akan lain ceritanya. Apalagi saat ini seperti kurikulum terbaru, pembelajaran kepada anak SD sepenuhnya tanggung jawab guru-guru SD sebagai sosok yang paling bertanggung jawab terkait dasar-dasar matematika yang harus dikenali anak-anak didiknya. Jika ternyata pemahaman konsep ini sudah keliru, maka sudah dapat dipastikan kedepannya anak akan memiliki persoalan baru dan menemukan masalah terkait penyelesaian soal-soal yang lebih rumit di sekolahnya. Saya sendiri dan ibunya anak-anak pernah mengalami persoalan ini, tapi memang pendidikan sewaktu sekolah dasar tempo dulu dengan saat ini memang jauh berbeda. Dahulu memang matematika tidak terlampau rumit dan lebih mudah dipahami karena alasannya yang penting bisa berhitung. Sedangkan saat ini saya akui, meskipun saya seorang pendidik ternyata materi yang diajarkan juga sangat berbeda teknis pengerjaannya meskipun hasilnya tetaplah sama. Namun karena prinsip orang tua harus mengakui bahwa sebenarnya guru pun memiliki profesionalitas terkait bidang tugasnya, maka sayapun menyerahkan sepenuhnya konsep-konsep matematika tersebut kepada guru. Meskipun acapkali pula kami harus berdebat. Meskipun akhirnya perdebatan terhenti lantaran pengakuan diri bahwa guru haruslah dihargai karena memiliki pendidikan yang saya yakin sudah mumpuni. Saya melihat persoalan PR SD di mana-mana sama saja, cara guru dalam menyampaikan pun saya pikir akan sama, karena mereka berpedoman kurikulum dan pendidikan yang telah mereka ikuti sebelumnya. Jadi persoalannya sebenarnya sudah selesai di sini. Seorang guru tidak akan melakukan kesalahan jika pengetahuannya memang sudah mencukupi apalagi sudah berpedoman pada kurikulum atau buku-buku yang diedarkan oleh kementrian pendidikan selaku stakeholder pendidikan di Indonesia. Nah, pertanyaannya, sudah optimalkah pendidikan Indonesia dalam mentransformasikan konsep ke matematika-an kepada anak-anak didiknya? Terutama kepada para calon guru-guru matematika sekolah dasar yang akan ditempatkan disekolah-sekolah dasar? Jika pertanyaan sudah optimal, berarti sang guru tidak melakukan kesalahan karena beliau sudah menjalankan konsep tersebut sesuai dengan atuaran yang benar, sesuai dengan pendidikan yang ditempuh hingga sarjana. Jadi sudah tidak menjadi persoalan lagi dengan bagaimana seorang guru mengajarkan matematika kepada anak didiknya. Hal ini dimaksudkan jika ternyata seorang guru sudah benar-benar siap mendapatkan pendidikan yang benar semenjak sekolah dasar hingga sarjana, berarti apa yang diberikan sang guru tidak layak untuk disangkal. Karena secara konsep awal sudah benar. Apalagi di jenjang sarjana, konsep tersebut tinggal pengembangannya, ditambah lagi dengan pengetahuan psikologi pendidikan, metodologi pengajaran serta ilmu-ilmu yang dibutuhkan oleh seorang guru. Sehingga sepatutnya apa yang diajarkan oleh seorang guru dihargai sebagai kebenaran mutlak sebagaimana konsep matematika. Mutlak dalam hukum matematika tentunya. Jika jawaban justru pendidikan belum optimal, berarti ada yang salah dalam sistem pendidikan kita. Kalau sudah salah dalam sistem pendidikannya, berarti output tenaga-tenaga pendidik juga sudah pasti dianggap tak layak. Logikanya setiap calon guru yang ditempatkan dalam jenjang tertentu harus benar-benar profesional sesuai dengan bidang tugasnya. Jadi tidak bisa dianggap bahwa basic sekolah dasar adalah pendidikan yang remeh temeh. Justru pada sekolah dasar inilah pengetahuan yang lebih tinggi akan memiliki pondasi yang tepat. Konsekuensi yang akan diterima jika pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi ternyata "dianggap" tak layak berarti pemerintah telah salah dalam memenuhi pendidikan bagi rakyatnya. Kesalahan tertinggi adalah tatkala para guru yang dahulu telah mendidik ternyata tidak memenuhi drajat profesionalisme yang dibutuhkan, maka dampaknya anak-anak yang dahulu sekolah di SD akan salah pula mengajarkan ilmunya tatkala mereka menjadi guru di sekolah dasar pula. Kondisi ini tentu membuat miris, ternyata selama ini kita telah salah menempatkan dan memproyeksikan program pendidikan kita. Saya tidak bisa menjelaskan di mana duduk kesalahan tersebut karena pemerintah sendiri yang paling mengerti persoalan ini. Namun dengan kondisi yang serba penuh perdebatan ini hakekatnya ada yang perlu dievaluasi dan dibenahi agar pendidikan Indonesia benar-benar mumpuni dan layak dipertanggung jawabkan. Apalagi jika dikaitkan dengan lembaga pendidikan tinggi yang mencetak para guru matematika tersebut, tentu ada yang salah dalam proses pendidikannya. Semoga saja hal ini tidak terjadi dan tak perlu dirisaukan. Karena saya meyakini lembaga pendidikan tinggi di negeri ini sudah diisi oleh para akademisi dan ahli pendidikan yang telah memperoleh sarjana pendidikan bahkan mendapatkan gelar profesor di luar negeri. Yang tak mungkin pula lembaga rujukan mereka belajar tidak diakui bukan? Karena lembaga-lembaga itupun diakui dunia. Perlu ada sinergisitas antara pemerintah, akademisi, pendidik, dan orang tua siswa Selama ini perkembangan pendidikan yang terus bergerak maju sering tidak diimbangi adanya kemampuan generasi muda dalam menyerap segala macam informasi terbaru (ter-update) sebagai bagian kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi di era kekinian. Seperti misalnya, tatkala kurikulum dan pengetahuan serta teknologi berubah seiring kebutuhan jaman, ternyata tidak diimbangi oleh kesiapan komponen dan elemen pendidikan itu sendiri. Komponen tersebut adalah pemerintah sendiri yang semestinya cepat tanggap dengan perubahan yang ada dan mencari jalan solusi agar Indonesia tidak tertinggal jauh dari bangsa lain, sehingga tidak terkesan membiarkan perubahan itu justru akan menjerat kita pada persoalan-persoalan baru yang tentu saja akan ditemui. Para pendidik juga merupakan komponen pendidikan yang juga tetap harus ter-update dan ter-upgrade pengetahuan dan profesionalismenya agar kemajuan pengetahuan dan teknologi tidak menyisakan kebingungan dan kesalahan dalam mendidik. Yang tidak kalah pentingnya adalah, ketika kemajuan dan perkembangan itu terus berkembang tentu akan berdampak pada pada lingkungan pendidikan itu sendiri, khususnya para orang tua yang juga jangan sampai tertinggal infomasi terkini terkait perubahan-perubahan yang terjadi. Dampaknya ya itu, seperti kasus konflik metode penyelesaian soal matematika SD tersebut. Atau persoalan lain yang sama pentingnya terkait pendidikan kita. Semua merasa paling benar dan paling memiliki peran untuk mendidik generasi muda, padahal kita semua adalah sistem yang tak dapat dipisahkan satu persatu. Pemerintah, guru, siswa, orang tua, lingkungan, sarana dan prasarana pendidikan adalah sebuah sistem yang semuanya memberikan pengaruh yang erat terkait kesukesan pendidikan di Indonesia. Simpulannya adalah, bahwa negeri kita dibangun atas sebuah sistem, jika salah satu sistem itu mengalami ketidak mampuan atau tertinggal informasi terbaru dan perubahan teknologi yang ada, maka dapat dimungkinkan akan muncul konflik-konflik baru terkait perubahan yang selalu muncul dalam sistem pendidikan kita. Salam Indonesia Bisa!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun