Daging, ternyata sampai sejauh ini sangat istimewa di mata sebagian besar masyarakat Indonesia. Semua jenis daging, baik daging ayam maupun daging sapi merupakan menu yang teramat mewah bagi kalangan bawah atau kaum miskin papa. Mereka sama sekali tidak berfikir berapa sih harga daging? Atau esok ingin makan rendang, misalnya. Yang ada dalam fikiran mereka bagaimana bisa mencukupi kebutuhan makanan ala kadarnya.Â
Tak peduli lagi berapapun harga daging yang beredar saat ini. Semua serasa cuex bebek, tak menganggap sebagai masalah krusial. Karena faktanya jika kita selusuri lebih jauh kemampuan masyarakat kelas bawah dari segi ekonomi tentu amat jauh berbeda dibandingkan dengan masyarakat menengah ke atas. Jangankan memikirkan harga daging yang mahal, bisa menikmati ikan asin atau telur saja sudah cukup.
Bukan berarti mereka tidak suka makan daging, tapi karena ketiadaan ekonomi yang memaksa mereka gigit jari dan cukup menahan diri untuk tidak memikirkan sesuatu yang tidak mungkin mereka nikmati. Paling tidak untuk saat ini hanyalah menu sederhana plus ikan laut yang harganya lumayan miring dibandingkan dengan harga daging sapi.Â
Harga ikan asin yang berkisah Rp 15.000 - 30.000 perkilogram, dan ikan laut segar berkisah Rp 25.000 juga masih dianggap mahal. Tapi hanya ikan-ikan jenis inilah yang menjadi menu andalan. Dan yang lebih parah lagi ada yang hanya bisa menikmati lauk tempe dan sayuran daun singkong sebagai menu utama, lantaran hanyalah itu bahan baku menu makan inilah yang bisa mereka nikmati saat ini.
Dengan estimasi harga di atas seratus ribu saat ini tentu menjadi makanan mahal bagi yang berkantung tipis. Seandainya diturunkan harganya sampai Rp 80.000 pun masih terlalu mahal. Bagaimana tidak mahal, untuk pekerja bangunan dengan gaji harian rata-rata Rp 80.000 tentulah hanya bisa dibelikan satu kg jika memang harga dagingnya Rp 80.000. Bagaimana jika harga itu melambung hingga Rp 150.000, maka lebih baik mereka membeli tempe daripada untuk membeli beras tidak ada lagi.
Seandainya ingin menikmati daging sapi atau kambing, kemungkinan besar mereka lebih memilih membeli sate atau bakso dengan kualitas daging yang rendah. Dengan harga Rp 15.000, kaum miskin bisa menikmati daging sapi dalam bulatan bakso meskipun percampuran antara tepung dan daging 10 : 1. Sepuluh kilo untuk tepung dan 1 kilo untuk daging. Sudah begitu agar rasanya bisa nonjok, maka diberikanlah perasa daging yang banyak dijual bebas. Jadilah masyarakat miskin bisa menikmati daging bohongan sedangkan harga daging yang mahal hanya jadi suara-suara orang-orang kaya yang mampu membelinya.
Bagaimana kondisi per-dagingan saat ini?Â
Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, Presiden Jokowi sudah merencanakan dan membuat kebijakan harga daging sapi tidak boleh melebihi Rp 80.000 per kilogram. Meskipun faktanya sampai detik ini, harga yang diinginkan pun masih sebatas angan-angan. Berbeda sekali dengan di Malaysia, harga daging sapi kisaran Rp 50.000 perkilogram. Jadi masih kalah jauh pemerintah saat ini mampu menekan harga daging.Â
Meskipun demikian, salut kepada Presiden yang sudah berusaha menurunkan harga dengan operasi pasar. Meskipun dampaknya kran import tidak dapat dielakkan.Â
Swasembada daging yang dicanangkan Presiden akan terpenuhi ternyata juga belum tercapai. Karena memang mengelola ketersediaan daging dalam negeri bukan seperti membuat bakso. Sekali penyet keluar baksonya. Ini jelas berbeda, masyarakat harus siap-siap menjadi peternak unggul agar mereka bisa membudidayakan sapi dengan kualitas minimal setara dengan peternak dari Australia.Â
Selain tidak mudahnya menyiapkan tenaga ahli dan peternak unggul, ketersediaan sumber daya atau daya dukung juga masih minimal. Ada kesiapan penuh dari aparat daerah untuk bekerja sinergi dengan pemerintah pusat dalam menyiapkan infrastruktur dan SDM di daerah demi lancarnya program swasembada daging.