Beberapa tahun silam, saat itu usiaku masih belasan tahun, karena aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Saya sering diajak silaturrahmi oleh Bapak ke tetangga-tetanggaku. Bapak tak memilih-milih teman bermain lantaran bagi beliau semua orang adalah saudara, meskipun kadang berbeda latar belakangnya.
Tak hanya perbedaan latar belakangnya, karena faktor fisik pun tak menghalangi bapak untuk menjalin komunikasi dengan orang-orang yang berbeda kondisi fisiknya sekalipun.
Kebetulan di suatu waktu, bapak mengajakku bermain di salah satu tempat kursus (balai latihan kerja) bagi para penyandang disabilitas (difable). Rerata mereka memiliki fisik yang kurang sempurna. Lebih tepatnya menurut para ahli kelemahan fisik tersebut dinamakan tuna daksa. Yaitu salah satu jenis kelemahan dan kekurangan yang ditandai tidak sempurna dan kurang ata tidak sama sekali berfungsi salah satu atau sebagian dari fisiknya. Misalnya kaki, tangan, atau seluruh tubuhnya misalnya. Yang jelas tuna daksa memiliki kelemahan secara fisik. Walaupun adapula yang menyatakan bahwa tuna daksa tidak semata-mata kelemahan fisik semata tapi saraf motoriknya yang juga terganggu.
Apapun itu, yang pasti mereka yang memiliki kelemahan fisik itu, saya melihatnya justru begitu sempurna. Mereka bisa melakukan pekerjaan orang-orang pintar kebanyakan tanpa dibantu. Jangankan orang lain, saya sendiri kayaknya tidak bisa melakukan pekerjaan mereka.
Apa sih pekerjaan dan aktifitas mereka?
Para penyandang difable tersebut ternyata memiliki kemampuan tekhnik elektro yang baik. Saya kurang paham awal mula mereka diajarkan tentang bagaimana memperbaiki alat-alat elektronik tersebut. Nyatanya radio yang diberikan bapak untuk diperbaiki ternyata bisa digunakan lagi.
Tak hanya radio, televisi dan beberapa alat elektronik lain begitu mudahnya diotak-atik dan kemudian diservis lagi agar bisa menyala dan digunakan oleh pemiliknya. Dalam hati saya salut dan tertarik untuk mengenal mereka lebih dekat. Meskipun saat itu usiaku benar-benar masih bau kencur.
Saya tidak sungkan, malu atau merasa jijik, lantaran menurut Bapak (kala kecil saya sering mendapatkan nasihat) semua orang mesti dihormati dan dihargai lantaran mereka sama-sama mahluk Tuhan. Meskipun tak banyak yang mau mendekati orang-orang yang berkebutuhan khusus tersebut. Tapi bagi saya semua adalah kekurangan sekaligus kelebihan yang diberikan Tuhan kepada semua hamba-hambaNya.
Setelah perkenalan saya beberapa waktu lalu yang sampai saat ini masih saja tersimpan di memory saya, meskipun saat ini BLK (tempat kursus) tersebut sudah raib entah kemana, ternyata rasa penasaranku terjawab sudah tatkala beberapa tahun yang silam pula aku diperkenalkan oleh tetangga desaku terkait sekolah bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Padahal awalnya saya honor di sebuah sekolah dasar yang notabene siswa-siswinya memiliki kecerdasan yang baik dan banyak menorehkan prestasi di tingkat kabupaten.
Terlepas dari latar belakang saya yang pernah honor di SD Negeri, perkenalan saya dengan SLB pun tak diduga dan direncanakan sebelumnya. Seperti apa yang saya sampaikan di muka, bahwa segalanya mengalir begitu cepat, tak dinyana dan diduga ternyata Allah mempertemukanku dengan anak-anak bangsa yang memiliki kelemahan fisik maupun psikis. Anak-anak yang tak semua orang mau mendidik mereka. Bahkan ada yang sama sekali tidak mau menyentuh anak-anak ini lantaran merasa jijik.
Alhamdulillah, karena saya pernah mengenal mereka bertahun-tahun silam, ternyata sampai saat ini membawaku betah mengabdikan diri untuk mendidik anak-anak berkebutuhan khusus di SLBN Metro sebagai institusi yang saat ini menaungiku.