Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Ketika Orangtua Tak Kenal Anak Sendiri

2 September 2015   05:30 Diperbarui: 2 September 2015   05:30 2980
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi Kehidupan keluarga (Gambar : Shutterstock)"][/caption]Ilustrasi Keluarga (Shutterstock) 

Ada yang mengatakan "gampang ya jadi orang tua, anak-anak pada patuh dan ikut aturan keluarga. Menurut dan membantu yang dibutuhkan ayah dan ibu mereka". Tapi ada juga yang mengatakan "sulitnya jadi orang tua, harus memenuhi kebutuhan, pendidikan, belum lagi karakter anak yang berbeda-beda. Ditambah lagi kalau anak memiliki keinginan yang berbeda pula, tentu kerumitan hidup dalam keluarga semakin terasa". Ada juga yang begitu permisif mengatakan bahwa "biarkan saja anak-anak mengikuti kehendak atau keinginan mereka, orang tua tak perlu turut campur apa yang ingin mereka lakukan. Mau apa aja terserah mereka yang penting orang tinggal mengawasi."

Apakah pernyataan-pernyataan tersebut salah atau benar? Tentu dikembalikan pada pribadi masing-masing dalam memandang konsep pendidikan bagi anak-anaknya. Apalagi semua itu dipengaruhi tingkat pendidikan, lingkungan di mana mereka tinggal, pola hidup yang diturunkan oleh nenek moyang mereka, atau faktor kejiwaan yang dimiliki yang bersangkutan.

Bagi yang menganggap remeh persoalan anak, tentu mereka memandang bahwa persoalan anak hanyalah persoalan sepele, tak usah dibikin pusing apalagi membuat riweuh kata orang Sunda, atau sak karepe kata orang Jawa. Padahal kesuksesan anak adalah kesuksesan orang tua, dan kegagalan anak pun menjadi awal kegagalan orang tua.

Bagaimana dengan yang menganggap persoalan anak adalah persoalan yang rumit? Tentu didasarkan pada pengaruh kepedulian terhadap masa depan anak. Bukan bermaksud menafikan faktor kesuksesan keluarga lain yang menganggap "gampang" mengelola anak-anaknya, lantaran ekonomi yang cukup mapan, tapi mengelola anak juga tak hanya faktor ekonomi yang menentukan. Ada beragam faktor yang turut memicu bagaimana anak-anaknya sukses di kemudian hari.

Kita seringkali terjebak pada pola asuh yang diwariskan orang tua kita yang sangat "kaku" meskipun kaku di sini bukan berarti salah lantaran seringkali melihat anak-anak yang dididik dengan cara "kaku" leterlek tersebut ternyata banyak yang mendapatkan kesuksesan. Misalnya keluarga A, dia mendidik anak-anaknya berpedoman pada pengetahuan turun temurun yang diwariskan hingga anak cucu, ternyata kehidupan mereka lebih baik dibandingkan kehidupan keluarga B yang mendidik anak-anaknya menurut selera sang anak. Dunia modern menjadi kiblat bagaimana mereka mendidik anak-anaknya. Keluarga sangat menjunjung warisan leluhur dan kebudayaan yang dianggap "ndeso, kolot maupun kampungan" ternyata kehidupan lebih baik. Berbeda dengan keluarga B, yang notabene sangat dipengaruhi oleh kehidupan modern kekinian.

Meskipun tak sedikit keluarga sukses yang berkiblat dengan pola asuh era kekinian yang lebih modern. Anak-anak dibiarkan memilih apa yang diinginkan tanpa mendapatkan pertentangan dari orang tua mereka. Disebutlah keluarga ini sebagai keluarga masa kini. Tapi sayang sekali, kesuksesan keluarga B hanya dipandang dari segi ekonomi yang berkecukupan bahkan mewah. Mereka tak melihat bagaimana anak-anak mereka bekerja, halal atau haram. Bagaimana anak-anak mereka bergaul, bercengkrama dengan lawan jenis dan bagaimana mereka menilai pergaulan anak-anaknya dengan lingkungan sekitar, apakah menggunakan tata krama dan sopan santun? Sepertinya hal ini tidak dilakukan. Bahkan keluarga B cenderung kurang peduli dengan orang lain lantaran mereka banyak disibukan pada persoalan keluarga sendiri yang dibentuk ala kehidupan modern. Meskipun ala modern ini tak juga bisa disalahkan lantaran ada pula yang menggunakan teori modern ternyata masih memegang kendali adat dan tradisi. Meskipun saat ini jumlahnya dapat dihitung jari.

[caption caption="Ilustrasi Kehidupan keluarga (Gambar : dakwatuna.com)"]

[/caption]

Resiko keluarga yang menggunakan tradisi "kolot" tersebut, tentu sering mendapatkan cibiran dari generasi muda saat ini. Orang tua dianggap tak berpendidikan dan kurang pengalaman. Padahal sejatinya pengalaman hidup tak melulu faktor pendidikan yang tinggi, tapi perjalanan hidup mereka bersama keluarga dan lingkungan inilah yang sejatinya pengalaman yang berharga.

Padahal, semakin keluarga itu dianggap "kolot" semakin menjaga nilai-nilai kebaikan yang tentu saja diwariskan oleh keluarga mereka semenjak dahulu. Pola asuh pun tak bergeser karena arus modernisasi saat ini. Meskipun tak sedikit pula yang menggunakan konsep "lawas" dalam pendidikan anak-anaknya ada juga yang tak meraih kesuksesan lantaran ada faktor kemajuan di abad ini yang tidak mereka ikuti. Dulu gudel harus nurut kebo, saat ini kebo harus nurut gudel. Artinya dulu sang anak harus mutlak ikut apa kata orang tua, tanpa bisa memilih yang disukai, sedangkan saat ini orang tua harus nurut apa kata anak meskipun orang tua kurang setuju. Itulah konsep kehidupan keluarga di era kekinian. Apakah kehidupan orang dulu semuanya baik, dan kehidupan sekarang semuanya kurang baik? Tentu tidak bisa menilai secara sekilas lantaran semua memiliki kelebihan dan kekurangan.

Bagaimana jadinya jika orangtua tak kenal anak sendiri?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun