Sepekan sudah suara sirna
tak lagi menyapa
pada rerumputan,
pada dedaunan
pada hijaunya pepohonan
suara tak lagi menyeruak
di antara rimbunnya ilalang
kini sepi
hilang tak berbekas
di antara riuh rendah suara
di antara kepak-kepak sayap burung perkutut itu
kini...
suara merdu nan renyah
kini berganti nafas-nafas lemah tak berdaya
mengharu biru, menggurita asamu
di antara degub jantung dan tekanan parumu
di antara sekat-sekat diafragma
ibu...
kemanakah suara indahmu itu
saat dikau memanggil kami
di saat menyapa diamnya kami
tatkala itu suaramu begitu sempurna
membangunkan mimpi panjang kami
Ibu...
mana suaramu
bersama pesan-pesan kehidupan nan hakiki
betapa kami hendaklah tetap memuja Allah yang Esa
bersujud dan bersimpuh meski dalam lelah kami
meski dalam suka ataupun duka kami
Ibu ....
seandainya Tuhan mengizinkan kami
membayar setiap bait suara itu dengan berlian
kami akan membayarnya
bahkan dengan semua harta kami
demi indahnya suaramu
kembali lagi bersama kami
meski kini
tinggallah nafas-nafa lemah
tak berdaya
dalam ruang ICU itu..
*Puisi untuk ibuku yg terbaring lemah di ruang ICU
Metro Lampung, 25/1/2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H