[caption id="attachment_327923" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Admin (Kompas/Kris R Mada)"][/caption]
Ide netralitas warga negara yang tak ingin turut dalam proses pemilihan umum sejatinya seperti wabah, meskipun ke tidak ikutsertaan tersebut merupakan hak azasi atau hak individu. Sebagaimana akhir-akhir ini ada beberapa orang yang menyuarakan agar para calon pemilih tidak menentukan pilihannya alias golput.
Golput disebut juga golongan putih, meskipun sejatinya para golputer ini tidak juga disebut golongan putih. Sebab, ketika para golput ini benar-benar tidak mencoblos dalam pemilu, maka mereka pun sejatinya tidak menitipkan apa-apa terhadap wakil rakyatnya. Maka wajar jika orang yang mengatasnamakan golput seperti anak ayam kehilangan induknya.
Ketika mereka tidak memilih berarti mereka seperti tidak memiliki konsekuensi apapun terkait hak dan kewajiban sebagai warga negara. Seperti misalnya, ketika Beno tidak memilih satupun dari sederet calon, maka dapat dipastikan dia sama sekali tidak melibatkan dirinya secara utuh dalam proses demokrasi. Maka jika kebijakan yang terkait kemasyarakatan maka si Beno pun tak berhak mendapatkan haknya. Seperti halnya mereka tidak menyuarakan aspirasinya di TPS.
Bahasa kasarnya "engkau tidak memilih maka tak kan mendapatkan apa-apa". Meskipun di antara calon pemilih tersebut ada yang golput, tentu saja dengan alasan tertentu seseorang sah-sah saja untuk tidak menyumbangkan suaranya. Boleh jadi karena tokoh yang digadang-gadang justru tidak tembus pada bursa calon presiden atau anggota legislatif.
Namun demikian, terkait ketidak ikutsertaan dalam pemungutan suara, sebagai bentuk ketidak percayaan calon pemilih terhadap tokoh-tokoh yang selama ini akan maju dalam pemilihan umum. Seperti halnya dalam forum rapat, sah-sah saja ada di antara peserta yang melakukan walkout dari ruangan tatkala aspirasi yang berkembang tidak sejalan dengan konsep pribadi atau kepentingan tertentu yang lebih khusus.
Golput sebagai bagian demokrasi tapi sebuah preseden buruk
Ide golput sejatinya sudah bertahun-tahun yang lalu, yakni tatkala ordebaru berkuasa, puncaknya tatkala banyaknya kasus kecurangan dalam penghitung suara. Sebagai bentuk pertentangan sekaligus sikap skeptis atas ketidak luberjurdillan pemilu itu sendiri. orang-orang yang melakukan golput muncul pula karena rasa kecewa terhadap partai, karena mereka menganggap partai hanya simbol untuk memperoleh kekuasaan dan sama sekali tidak mewakili aspirasi mereka.
Rata-rata masyarakat yang melakukan golput adalah sosok pemilih militan, mereka tidak akan memilih partai yang sama sekali tidak sesuai dengan ideologi maupun hatinurani mereka. Mereka beranggapan tatkala mereka sudah memilih partai dan calon legislatif ternyata sosok yang dipilih tidak jujur dan sama sekali tidak menyampaikan aspirasi mereka maka keputusan untuk tidak memillih sebagai konsekuensi akhir.
Selain rasa kecewa yang berlebihan, masyarakat yang tidak memilih ketika mereka salah dalam memilih maka akan mendapatkan akibat dosa. Lantaran membantu orang yang "salah" menjadi pemimpin bagi mereka.
Yang patut digaris bawahi di sini, jika setiap orang memilih golput sedangkan hakekatnya para calon yang diusung partai tersebut ada yang benar-benar jujur, maka sosok yang sejatinya pantas dipilih malah tidak mendapatkan suara. Maka dampak negatifnya lagi adalah orang-orang yang tidak golput justru menjadi pemilih mayoritas yang ternyata sosok yang dipilih orang yang dianggap tidak representatif. Dua kali kesalahan yang akan diterima oleh orang-orang yang memilih untuk golput. Rugi karena tidak mendukung orang yang "benar" dan justru membiarkan orang yang "salah" memenangkan pemilu.