Santer diberitakan di beberapa media, bahkan jika ditengok lebih dekat di pusat perdagangan maupun warung-warung di sudut kota, pasti akan terjadi kenaikan harga Sembako seiring dengan datangnya bulan suci Ramadhan dan menjelang Hari Raya Iedul Fitri, meski ada sisi positifnya untuk melatih hemat karena secara otomatis konsumen akan mengurangi jumlah pembelian hanya terbatas pada produk-produk yang penting, namun ada sisi negatifnya yang tentu saja membebani masyarakat sekaligus menghambat proses dinamisasi dan akselerasi ekonomi di setiap segmen ekonomi masyarakat.
Fenomena tersebut, tidak hanya terjadi pada bahan pangan sebagai sumber pokok penghidupan masyarakat tapi juga perlengkapan sekolah sehingga secara umum orang tua mengalami kerepotan akibat kenaikan harga yang terkadang tidak sesuai dengan sepatutnya, apalagi bulan Juli merupakan bulan sibuk dan super padat bagi orang tua yang ingin mempersiapkan alat-alat belajar atau kebutuhan sekolah anak-anaknya.
Mengapa kenaikan selalu terjadi tatkala semua umat disibukkan dengan rutinitas Ramadhan dan orang tua sedang menghadapi kebutuhan sekolah bagi anak-anaknya?
Jika diuraikan satu persatu, persoalan ini memiliki dasar masalah sebagai berikut:
Sistem ekonomi Indonesia merupakan sistem ekonomi pasar di mana sistem harga ditentukan oleh pemilik sektor perdagangan dalam hal ini adalah agen besar yang tentu saja memiliki modal yang besar. Ekonomi sama sekali tidak diatur oleh pemerintah akan tetapi berjalan sesuai dengan aturan (rule) pasar itu sendiri. Sebagaimana direlease dalam Wikipedia bahwa perekonomian pasar (market economic), pasar lah yang mengatur faktor-faktor produksi dan alokasi barang dan jasa melalui permintaan dan penawaran.
Efek yang ditimbulkan akibat ekonomi pasar adalah bahwa semua harga komoditas sangat tergantung dari pasar yang tentu saja masyarakat akan mengalami konflik yang cukup signifikan apabila harga-harga tidak terjangkau lagi untuk ukuran masyarakat kecil ditambah lagi jika pedagang di tingkat eceran dengan sengaja menaikkan harga semau gue meski masyarakat dalam kondisi tercekik yang tak ayal lagi masyarakat yang tidak memahami sistem ekonomi ini akan menyalahkan pemerintah selaku pemilik kebijakan pasar padahal pemerintah sama sekali tidak memiliki wewenang penuh terhadap kebijakan harga yang berlaku di masyarakat.
Sistem ekonomi pasar sebenarnya tidak semata-mata terjadi di Indonesia, akan tetapi sudah menjadi kebijakan dunia kebijakan ekonomi ini dilaksanakan oleh semua negara yang berada pada struktur dan sistem organisasi perdagangan dunia (WTO). Dimana kebijakan WTO sebagaimana direlease antara news.com edisi Senin, 13 Mei 2013, menyebutkan bahwa WTO adalah organisasi yang dibentuk pada 1 Januari 1995, berdasarkan Perjanjian Marrakesh, yang bertujuan mengganti lembaga General Agreement on Tariffs and Trade (GATT, terbentuk sejak 1948) dalam mengawasi dan meliberalisasi perdagangan internasional. Organisasi tersebut berurusan dengan regulasi perdagangan di antara beragam negara yang berpartisipasi, dan bertugas menyediakan kerangka perundingan dan memformalisasi perjanjian-perjanjian perdagangan, serta mengatasi perselisihan dalam proses peembuatan resolusi yang selaras dengan perjanjian WTO.
Lebih jauh dalam situs yang sama disebutkan bahwa salah satu perbedaan yang diperdebatkan adalah keengganan negara-negara maju untuk meninggalkan kebijakan subsidi pertaniannya, dan di sisi lain, negara-negara berkembang juga tetap mempertahankan tarif impor untuk memproteksi pasar nasional mereka, namun demikian seberapapun kuatnya proteksi tersebut akan selalu bertentangan dengan kebutuhan yang mesti dipenuhi, sehingga mau tidak mau impor dengan skala besar terjadi.
Akibat kebijakan tersebut harga-harga pertanian secara otomatis akan mengalami kenaikan yang signifikan jika negara yang bersangkutan tidak dapat memenuhi kuota kebutuhan pangan di tingkat lokal, yang akibatnya negara-negara lain yang memiliki penghasilan yang melimpah akan dengan mudah melakukan eksport dengan beacukai yang murah. Bahkan bisa jadi WTO menghendaki tidak ada pungutan dengan masuknya barang-barang ke negara konsumen. Seperti halnya saat ini di Indonesia sudah menjadi pangsa pasar nomor wahid produk dari China yang notabene tergolong sangat murah. Hal ini berakibat hancurnya nilai penjualan produk-produk asli dalam negeri dan mematikan sumbernya yakni petani sebagai pelakunya.
Bahkan menurut Rakyat Merdeka Online Edisi Kamis, 23 Mei 2013 bahwa kebijakan kuota ekspor dan impor oleh WTO semakin membuat Indonesia seperti tidak punya kendali untuk mengatur perdagangan dalam negeri. Padahal sebagai negara berdaulat, pemerintah punya andil besar menetapkan setiap kebijakan yang mendorong petani maupun pedagang lokal.