[caption id="" align="alignnone" width="620" caption="Masinis Agro Parahyangan | Kompasiana (Kompas.com, Kristianto Purnomo)"][/caption] Salut benar dengan bapak empat orang anak ini, meski saat ini kehidupannya sudah sangat mengkhawatirkan ternyata prinsip hidupnya teramat teguh (istiqamah) dibandingkan dengan pegawai seangkatannya. Sebut saja Om Nur. Saya menyebutnya Om karena kebetulan masih kerabat dari pihak Istri. Beliau menghabiskan masa mudanya sebagai masinis trayek Lampung-Palembang dengan pekerjaan penuh waktu melayani penumpang kereta api yang ingin mudik menuju tenpat tujuannya. Jika melihat kondisi rumahnya, beliau terlihat sangat sederhana. Dengan kondisi rumah tak seperti teman sepekerjanya terlihat bahwa bapak satu ini tak mau terlibat dengan permainan selap-selip soal uang negara. Bisa saja aktifitas korupsi terjadi di tempat tugasnya namun dengan prinsip yang kokoh beliau enggan melakukannya. Dengan alasan beliau bekerja bukan untuk mencari kekayaan semata, tapi ingin mendapatkan barokahnya dari gaji yang didapatkan. Berdasarkan keterangan beliau, korupsi pun dapat dilakukan di perusahaan kereta api milik BUMN ini. Misalnya sewaktu masinis tengah bertugas maka sebagian solar dijual di tengah-tengah perjalan dengan seorang penadah. Karena ulah kotor ini, di antara teman-temannya mampu menghasilkan uang jutaan rupiah dan itu dilakukan selama bertahun-tahun. Kepercayaan yang diberikan oleh pimpinan justru diselewengkan dengan menjual bahan bakar kereta api. Wajar saja, pemerintah khususnya PJKA selalu menanggung kerugian. Dan wajar saja jika dari tahun ke tahun kondisi armada dan rel pun jauh kemajuan. Tapi berbeda dengan Bapak ini, meskipun godaan untuk melakukan korupsi selalu di depan mata. Tapi karena prinsip hidup bahwa kehidupan dunia akan dibawa ke akhirat maka perbuatan keji inipun urung dilakukan. Karena kejujurannya tersebut, kondisi keuanganpun terlihat pas-pasan, tapi alhamdulillah meskipun dalam kondisi pas-pasan beliau mampu menyekolahkan anaknya hingga ke perguruan tinggi. Seorang pria berdarah Palembang ini sangat familier dan sangat akrab meski bercakap-cakap dengan yang usianya jauh lebih muda. Meski darah Palembang mengalir dalam tubuhnya, karakter Sumateranya tidak terlihat. Justru sifat kejawaannya malah seperti mendominasi. Pantas saja karena sang istri adalah keturunan Jawa yang kebetulan lama menetap di Lampung. Dengan gaya bicaranya yang sangat sopan, beliau pun mengeluhkan karena sampai saat ini anaknya tak bisa mengikuti pekerjaan ayahnya. Maklum saja karena menurut pengakuan beliau untuk menjadi pegawai PJKA di tahun 2000-an masih kental dengan modus suap-menyuap, jadi karena pola tak jujur ini maka anaknya harus direlakan untuk menjadi pekerja swasta. Gagal menjadi pegawai pemerintahan karena iklim tak jujur di kalangan birokrat dan mengikhlaskan anaknya bekerja serabutan. Sosok Om Nur ini memang patut diacungi jempol, meskipun bekerja dengan apa adanya tanpa melakukan kecurangan, anak-anaknya dapat mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi dan berprerstasi. Namun sayang sekali harapan anak-anaknya ingin mengabdi kepada negara harus pupus di tengah jalan karena ada upaya jual beli kursi untuk dapat menjadi seorang pegawai pemerintahan. Tapi itulah fakta perekrutan pegawai pemerintah yang sampai saat ini masih terjadi, meskipun tidak semua institusi dan birokrat melakukan aksi jual beli SK ini, namun sepertinya negara ini didominasi oleh upaya main curang. Hampir setiap tahun ada saja calon pegawai yang harus menyerahkan uang hingga ratusan juta rupiah demi untuk bekerja di pemerintahan. Meskipun adakalanya aksi jual beli SK ini hanya rekayasa oknum pegawai, tapi faktanya banyak yang diangkat menjadi PNS karena telah menyerahkan sejumlah uang. Meskipun ada pula yang harus kehilangan uangnya dan tak dapat menikmati SK PNS yang diinginkan. Impiannya kandas, hartanya pun ikut raip. Teramat miris. Kisah sedih dan dihadapi mantan masinis ini sepertinya dialami oleh banyak orang tua, meski anak-anaknya berprestasi ternyata harus kandas di tengah jalan karena ulah oknum pegawai yang bermain kotor dengan meminta sejumlah uang agar lulus menjadi pegawai pemerintah. Ada pula yang mengaku tidak lulus tes CPNS karena ketika tidak dapat menyerahkan sejumlah uang dengan alasan yang sama tidak mau bermain kotor. Sebut saja Mr. S, Kebetulan beliau mendaftar CPNS Depag di sekitaran tahun 1999 Formasi Depag Prop Lampung, pada saat tes pertama beliau lulus, tes yang kedua pun beliau sukses. Tapi ketika tes wawancara salah satu panitia CPNS Depag justru menanyakan kesanggupannya menyerahkan uang sejumlah 5 juta rupiah jika mau lulus. Terang saja ditolak karena beranggapan itu adalah modus suap. Karena sikap inipun beliau gagal menjadi PNS karena memegang prinsip tak mau bermain curang jika ingin bekerja di instansi pemerintah. Sikap Om Nur dan Mr. S (sengaja saya rahasiakan demi keamanan nara sumber) ini sepatutnya menjadi pelajaran bagi para orang tua yang anak-anaknya ingin menjadi pegawai pemerintah, agar jangan terlalu berharap menjadi PNS jika dipaksa memberikan sejumlah uang. Karena meskipun kita berhasil menjadi pegawai toh karena caranya dengan menyerahkan sejumlah uang (dalam bahasa awamnya uang sogokan) maka dapat dipastikan pekerjaan tersebut akan sia-sia dan diharamkan. Karena dalam kitab suci dijelaskan bahwa si penyuap dan yang disuap akan masuk neraka. Tak hanya pemberi dan penerima karena si perantara suapun akan mendapatkan siksaan karena perbuatan yang diharamkan ini. Semoga orangtua seperti Om Nur ini selalu ada dan selalu menginspirasi siapa saja yang ingin memperoleh kekayaan. Mereka tak tertipu dengan permainan dunia yang penuh ketidak jujuran demi mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Pertanyaannya, kira-kira di antara kita siapa yang rela menolak bekerja di pemerintahan jika harus bermain suap? Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H