Tak terasa riuh rendah Pemilu Pileg yang mengharu biru pun berakhir. Meninggalkan catatan yang beraneka warna. Ada yang bisa tertawa dan berpesta pora karena posisinya positif masuk menjadi anggota legislatif berdasarkan suara yang signifikan. Namun ada pula yang meninggalkan duka lara yang dalam. Bahkan jika dirasakan seperti menusuk di antara sumsum, tulang dan. daging.
Itulah warna warni dari negara yang katanya demokrasi, sedikitnya telah membawa setiap penghuni negeri ini pada situasi yang teramat tegang namun ada pula yang menikmatinya dengan suka cita. Tentu saja karena beraneka mimpi tinggal menghitung waktu.
Namun, di antara kemeriahan dan beraneka ragam reaksi dari seluruh lapisan masyarakat, ada satu hal yang membuat bangsa ini sedikit lupa, bahwa tak sedikit saudaranya menjadi korban politik. Ada yang mesti terkena gangguan jiwa, ada yang harus kehilangan harta benda bahkan anak istrinya harus kabur dari rumah. Ada pula yang biasanya saling bertegur sapa karena perbedaan dalam pandangan semua menjadi diam, bisu tanpa sapa dan salam. Semua larut dalam skeptisme yang semakin dalam. Apalagi kehidupan mereka yang sepertinya semakin tak tentu arah tatkala tokoh-tokoh mereka yang sepatutnya menjadi panutan ternyata harus berakhir tragedi kekalahan.
Jika ada yang diminta untuk kalah tentu saja tiada satupun yang mau menyerah. Pantas, karena segala usaha sudah dilakukan, segenap kekuatan sudah dikerahkan. Segepok uang pun sudah direlakan demi sebuah kemenangan. Tapi justru kekalahan yang menyakitkan. Tidak hanya kekalahan tapi cemoohan pun turut menghiasai para pelaku politik yang harus kehilangan segala-galanya. Bahkan harga diri pun harus terhanyut dalam kemeriah demokrasi yang bersifat fana.
Mereka yang tadinya mengaku saudara, tetangga, kerabat atau handai taulan, kini seperti dipisahkan oleh perbedaan. Karena berbeda pilihan pun mereka harus terpisah. Karena politik pun akhirnya keluarga harus ikut tergoncang.
Sedih, prihatin dan sungguh ironis. Pemilu yang semestinya membawa kebahagiaan bagi semua orang dan semestinya menjadikan kebahagiaan bagi semua tapi ternyata justru duka lara. Masih beruntung hanya kehilangan harta benda, bagaimana jika nyawa pun yang harus dikorbankan?
Karena perbedaan politik, ternyata golongan, agama, suku dan perbedaan warna kulit dan rambut pun dibawa-bawa. Kadang tidak sadar meskipun perbedaan warna kulit itu adalah rahmat, nyatanya justru membawa kesengsaraan dan kehancuran.
Mereka tak sadar, ketika keyakinan yang berbeda sama sekali tidak akan memberikan manfaat pada pribadinya, jika perbedaan tersebut justru membawa kehancuran. Mereka yang sudah ditakdirkan berbeda, tak kan bisa disatukan. Karean lain bentuk wajah dan warna rambut pun lain karakteristik dan kepercayaan. Lain pula kemampuan seseorang dalam memahami fenomena politik dan sosial di sekitarnya.
Jika ia mampu menerjemahkan setiap perbedaan itu dengan hati lapang, tentu saja tak kan terhanyut pada eforia menyesatkan, tapi jika tak mampu membawa diri dan justru ternyatut dalam konflik tak berujung, maka dampaknya justru kehancuran di mana-mana.
Inilah Indonesia. Politik hanya sebagai cara untuk memanajemen negara ini agar menjadi lebih baik. Tapi untuk apa bermain politik, jika segalanya dijadikan alat untuk mengeruk keuntungan pribadi dan mengorbankan kepentingan bangsa dan negara. Mereka sukses menjadi pejabat tapi di sekelilingnya justru mencela dan mendoakan mereka dengan doa-doa penuh kebencian. Dan apa indahnya kehidupan, jika kehidupan mereka diselimuti oleh kedengkian dari orang-orang di sekitarnya.
Politik itu kejam, memang benar demikian. Meskipun senegara hakikatnya karena politik akan menjadi musuh. Musuh dalam selimut. Karena politik putus hubungan tali persaudaraan dan karena politik putus hubungan silaturrahmi dan kekerabatan.