Saya hanyalah anak desa (wong ndeso) meskipun wong ndeso tidak sama dengan Pak Joko Widodo, beliau wong ndeso tapi rezekinya kuto (meskipun orang desa rezekinya ala masyarakat kota) nyatanya kehidupannya sejahtera. Apalagi dibandingkan dengan Pak Prabowo Subianto, seperti semut dengan seekor gajah. Nggak ada seujung kukunya. Dan berbeda pula dengan ayahku, saya menyebutnya bapak karena asli dari Jawa Timur. Merantau ke Lampung tatkala masih bujangan. Pemuda sederhana yang juga dari keturunan anak desa merantau ke Lampung demi mencari kehidupan yang layak.
Di Lampung beliau bertemu dengan gadis desa juga dialah ibuku, saya memanggil beliau mamak, karena beliau pun adalah keturunan Jawa Tengah. Kebetulan kedua kakek-nenek dari Ayah dan Ibu sudah tiada. Mereka sudah tenang di alam keabadian. Semoga Allah memberikan tempat yang lapang dan terang di sisiNya. Aamiin.
Alhamdulillah keluarga masih lengkap ayah-ibu masih utuh. Meskipun demikian mereka berdua tak henti-hentinya memeras keringat membanting tulang. Maklum, karena kedua orang tua tidak suka berdiam diri. Mereka berdua tipe pekerja keras, meski penghasilannya tak seberapa, yang penting seluruh anak-anaknya diberikan kesehatan dan dapat bersekolah ke mana mereka mau dan seberapa mampu mereka berdua menyekolahkan anaknya.
Sayang sekali, karena ketidak mampuan ekonomi, hanya saya lah satu-satunya yang nekad bersekolah sampai ke perguruan tinggi. Sedangkan anak-anak yang lain cukup sampai di SMA/SMK saja. Alasannya karena ketiadaan biaya. Berharap sejak dari pertama ikut pemilihan umum dan mereka berdua ikut memilih caleg, cabub, cagub dan presiden, faktanya sampai sekarang masih saja sederhana kehidupan kami masih biasa-biasa saja. Masih beruntung saya kuliah di perguruan tinggi yang murah, meski saya harus nyambi menjadi kuli bongkar muat dan menarik becak, alhamdulillah kuliah nggak sampai putus. Beruntungnya juga saya memang anak yang sederhana, nggak neko-neko, kalau sekolah ya sekolah, meskipun untuk biaya sangat terbatas. Bahkan sampai-sampai Ketua PT nya heran kog saya bisa lulus. Ee setelah lulus ada perempuan yang masih mau menjadi istri saya hehe.
Tapi itulah masa lalu, meski sudah berlalu tapi masih saja indah untuk dikenang, sebuah perjalanan hidup yang teramat sulit tuk dilewati. Penuh aral rintangan yang mesti dilewati. Kehidupan yang sulit tak memudarkan langkah untuk menuntut ilmu, nggak nyangka juga mau jadi abdi negara. Pekerjaan yang banyak diburu banyak tamatan perguruan tinggi. Meskipun gaji pas-pasan ternyata seperti magnit yang mampu memikat banyak orang.
Memang sih, siapa yang mau kehidupannya susah? Nggak ada kan? Tapi ini hidup men semua sudah mendapatkan jatahnya masing-masing. Bahkan kalau mengingat pesan Ayah (bapak) rezekine dewe yo semene, yo mesti disyukuri, yen arep diukor yo podo karo nyekel gelas lan baskom. Lek rezekine sak gelas senajan diiseni banyu sak baskom yo jelas utah kabeh." Maksudnya rezeki kita ya segini, mau dikasih banyakpun kalau memang jatah kita sedikit ya tetap saja sedikit, kalau berlebih justru akan tumpah ke mana-mana. Pola pikir bapak yang amat sederhana tipe masyarakat pinggiran.
Kadang saya membayangkan, kenapa saya memiliki Bapak yang teramat jujur (bukan memuji) sampai-sampai dahulu sewaktu memiliki satu anak, kebetulan beliau lulusan pesantren di Jawa Timur, dan akan diberikan pekerjaan sebagai guru di salah satu sekolah negeri di Lampung, karena merasa tak memiliki ijazah minimal SMA, bapak pun menolak, alasannya karena tidak memiliki ijazah tersebut. Wajah donk dari SR langsung ikut pesantren, jadi ya nggak punya ijazah. Meskipun waktu itu pernah ditawari akan dibuatkan ijazah "PALSU" tapi bapak menolak karena terikat janji kepada Allah, bahwa yang hak itu harus diperoleh dari yang hak pula. Nggak boleh mencari rezeki dari yang diharamkan.
Bertahun-tahun pasca penolakan beliau dari status guru, bapak hanya bekerja serabutan, ke sana-sini memegang cetok dan cangkul. Tentu saja karena bapak hanyalah seorang petani utun yang tak memiliki lahan pertanian yang luas. Jadi sawahnya yangsejengkal untuk tabungan jatah beras, nah hasil dari cetok ya digunakan untuk menyambung hidup harian.
Tak disangka, karena ketekunan memegang cetok, lama-lama bapak dipercaya menjadi tukang, pekerja bangunan dengan gaji yang mendingan. Jika dibandingkan dengan gaji guru tiap bulan, gaji bapak mungkin lebih tinggi. Jika sama-sama dihitung bulanan. Makanya meski ditawar menjadi guru pun selalu ditolaknya.
Sayangnya 30 tahun yang lalu sampai sekarang bapak tetaplah seorang bapak yang sederhana, tetap saja hidupnya memeras keringat membanting tulang. Kadang berpikir bagaimana hidup enak, ternyata rezeki ya tidak pernah berubah. Meski presiden sudah berganti-ganti kehidupan yang sederhana masih saja kami alami. Sekali lagi apakah pemimpin negara ini yang tak mengerti bahwa kami butuh perubahan nasib, atau kami saja yang tak bisa mengikuti perkembangan zaman? Entahlah.
Yang pasti kami tetap mensyukuri karunia Ilahi, bekerja memeras keringat semampu kami, meski penghasilan kecil kami jalani dengan keteguhan dan keyakinan bahwa rezeki yang halal selalu menjadi berkah. Dan alhamdulillah meskipun penghasilan yang pas-pasan semua anak-anaknya bisa sekolah. Ya itulah harapan tertinggi dari bapak. Bahkan beliau berharap anak-anaknya kelak tak sebodoh seperti bapaknya, yang bekerja dengan perasan keringat dan di bawah teriknya matahari.