Seorang ibu tengah mengambil jatah beras raskin
Beberapa waktu lalu, sembari berbincang-bincang dengan salah satu tokoh masyarakat di kampung, terucap sebuah kesan yang cukup menggelitik bagi fikiran dan hati saya terkait beras raskin. Apa itu? ternyata jumlah masyarakat penerima beras raskin selalu bertambah dan tak berkurang selama bertahun-tahun. Sang tokoh inipun bercerita bahwa ternyata penerima beras raskin yang dahulunya memang benar-benar miskin, ternyata ketika saat ini kehidupan mereka sudah mapan, status mereka tetap tidak berubah. Yakni masih saja dilabeli miskin dan menerima beras rangsum dari pemerintah ini.
Tentu saja, kesan yang saya tangkap ini menyiratkan bahwa selama ini pemerintah dalam menggelontorkan dana bagi penerima beras raskin, ternyata sudah salah sasaran. Masyarakat yang dahulunya amat pantas menerima beras bagi kaum tak punya ini sampai saat ini masih saja menjadi pelanggan. Padahal ketika di crossceck mereka yang "mengaku" sebagai kaum miskin sejatinya sudah mengalami perubahan status ekonomi. Meskipun tidak tergolong kaya, tapi kehidupan mereka sudah berubah. Dari yang tadinya berubah bambu, kini rumah mereka sudah berdinding bata dan sudah berkeramik. Adapula di antara mereka yang sudah memiliki kendaraan pribadi bahkan memiliki mobil. Tapi sayang sekali status miskin ini tak juga dikoreksi. Padahal ketika kebutuhan akan bantuan beras rakyat miskin ini tidak dikoreksi, maka sudah dapat dipastikan pengeluaran negara (APBN) bagi pemenuhan permintaan beras tak tepat sasaran. Rakyat yang sejatinya seharusnya tidak "memiskinkan" diri, ternyata masih saja mengaku-ngaku miskin lantaran mendapatkan jatah beras beberapa kilogram ini.
Sebuah kontra diksi dan kontra produktif terkait kebijakan pemerintah yang hendak mengentaskan kemiskinan dan mengurangi beban negara terkait penerima "beras jatah" ini.
Hal ini tentu tidak sejalan dengan pernyataan Menko Kesra bahwa
"Tindak lanjut dari rekomendasi KPK, maka, pemutakhiran Basis Data Terpadu oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) merupakan upaya penajaman sasaran program. Kita menyadari bahwa ketepatan sasaran adalah faktor kunci keberhasilan program penanggulangan kemiskinan. Keyakinan ini memerlukan itikad dan dukungan seluruh pelaksana di pusat dan daerah dari mulai penetapan data sasaran dan pengawasan pada saat penyaluran. Sejalan dengan upaya penajaman sasaran, Pedoman Umum (Pedum) Raskin ini hendaknya menjadi acuan dalam pelaksanaan penyaluran Raskin tahun 2015" (Kata Pengantar Menko Kesra dalam Pedoman Umum Raskin 2015)
Pemerintah sejatinya dan semestinya sudah semakin ringan dengan meningkatnya status sosial masyarakat, ternyata sejauh ini masih saja dibebani dengan pengeluaran yang semestinya diperhitungkan lagi dan harus diarahkan pada hal yang lebih penting dari itu semua. Bolehlah beras raskin tetap diberikan, tapi semestinya data-data penerima jatah pun harus di-update ulang sehingga tidak ada kesan menggunakan uang negara pada hal yang tidak sepatutnya.
Ada yang salah dalam hal ini. Dan setelah saya telusuri semakin dalam ternyata ada beberapa point mengapa kebutuhan beras raskin tak juga menurun?
Pertama, selaku pelaksana kebijakan di tingkat daerah, kelurahan selama ini kurang jeli ketika berhadapan dengan data-data kemkinan di daerahnya. Hal ini disebabkan karena ujung tombak data yang sejatinya merupakan hasil evaluasi di tingkat RW dan RT masih saja belum diperbaruhi secara optimal, Dampaknya orang-orang yang beberapa tahun lalu memang dimasukkan dalam kategori miskin, hingga sepuluh tahun kemudian ternyata masih saja dianggap miskin. Padahal kehidupan mereka sudah berubah. Ada yang awalnya berumah geribik, saat ini hampir 90% rumah-rumah mereka berdinding batu bata. Belum lagi kepemilikan kendaraan yang menunjukkan status sosial masyarakat ini pun tidak termasuk dalam skala penilaian, apakah mereka pantas disebut miskin, menengah atau kaya.
Fakta inilah yang menjadi pemicu awal, data-data yang semestinya diperbaiki dan disaring kembali siapa saja yang berhak menerima ternyata masih saja sulit diperoleh data yang valid. Kembali pada lemahnya kontrol masyarakat dan aparat desa dalam melakukan update data.
Kedua, para aparat desa, sampai sejauh ini masih saja mengandalkan rasa tahu sama tahu dan sama rata. Mereka beranggapan bahwa ketika satu keluarga menerima beras raskin, maka sepatutnya semua masyarakat bisa merasakannya. Padahal semestinya hanyalah orang-orang yang miskin dan berhak mendapatkan saja yang masuk ketegori penerima. Kadang tak bisa dipungkiri, ada tekanan publik yang mengharuskan aparat di tingkat desa tak mau ambil pusing, daripada dicecar masyarakat karena dianggap tak adil, mereka lebih memilih menuruti apa mau masyarakat.