Setiap keluarga tentulah memiliki cara pandang yang berbeda dalam memaknai kehidupan. Ada yang oportunis, ada yang ingin menunjukkan kesuksesan kehidupannya dengan siapapun. Adapula yang hanya berkutat dengan kehidupan pribadi yang tak begitu peduli dengan apa yang terjadi di luar dirinya.Â
Ada pula keluarga yang selalu dibahas adalah kesenangan dunia. Namun, tak sedikit yang begitu mendalamnya tentang nilai keakhiratan yang mengakibatkan pola kehidupan yang kadang tidak seperti orang kebanyakan. Saya mau kerja kalau saya mau dan bukan karena butuh. Yang penting ibadah tak putus pasti rezeki itu akan datang. Pasrah dengan kehendak Tuhan dengan apa yang terjadi pada diri sendiri.
Semua itu adalah karakteristik manusia di dunia ini, setiap orang memiliki kebiasaan yang acapkali berbeda dari orang lain. Dan ini sah dan wajar, karena di balik rambut yang sama-sama hitam, ternyata menyimpan memori pikiran yang berbeda dan tentu saja cara pandang terhadap kehidupan ini.
Kita pun sebaiknya tidak menjudge atau menghakimi kehidupan orang lain. Bahkan kok menghakimi orang lain, menghakimi diri sendiri saja kurang tepat. Seperti berbicara sendiri, "gara-gara aku tak jadi dokter, aku gagal meminang anak pak lurah." Karena faktanya kehidupan seseorang harus terus menghargai sebuah hakekat kehidupan. Bahwa manusia hanyalah insan yang lemah dan Tuhanlah yang mengatur segalanya. Namun pendapat ini hanya berlaku bagi orang yang mengakui adanya Tuhan, bagi mereka yang anti Tuhan tentulah berbeda. Sok atuh, terserahlah masing-masing orang, yang penting semuanya harus mau bertanggung jawab atas konseksuensi yang telah diambil.
Seperti inilah yang sejatinya menjadi topik bahasan antara saya dengan anak saya yang bungsu. Di hari minggu plus liburan panjang acapkali kami  lupa bahwa kita perlu saling mendiskusikan hal-hal yang sederhana maupun yang ruwet dan bikin mumet. Membicarakan sesuatu yang tengah dialami, telah terjadi maupun yang boleh saja akan terjadi dengan prasangka yang baik.
Awalnya saya duduk santai sambil ngopi dan melihat berita di salah satu media sosial. Dan tiba-tiba sang anak menanyakan apa yang saya tonton tadi. Nah, dari sanalah perbincangan sederhana berubah menjadi diskusi yang mendalam. Dari pertanyaan-pertanyan dan jawaban-jawaban yang kami berikan menjadi sebuah kajian yang sederhana tapi mendalam. Yang saya salut, anak saya ini masih kelas IV, tapi sedikit banyak berusaha berpikir kritis dan mau memberikan alternatif-alternatif jawaban atas masalah yang ada di sekitar.
Seperti ketika kami membicangkan kasus kenapa pemerintah menertibkan penjual bibit ilegal. Anak pun menjawab karena itu tidak ada izinnya dan dilarang oleh negara. Kenapa dilarang? Karena setiap bibit yang dijual harus diketahui negara dan saya menambahkan karena setiap bibit yang diedarkan seharus diketahui apakah bibit itu layak jual karena sudah diteliti di laboratorium atau uji kesehatan di badan karantina. Jika bibit-bibit itu bebas beredar, bisa jadi mengandung penyakit yang akan merusak jenis jagung lain.Â
Dari sini sang anak belajar memahami mekanisme usaha dan peredaran produk di dalam negeri, jika ingin menjual bibit seharusnya terdaftar di kementrian perdagangan, BPPT, balai karantina, dan yang pasti telah lulus ijin edar.Â
Sama halnya ketika kita memproduksi makanan, jika makanan itu belum diteliti secara mendalam kandungan dan khasiatnya, bisa jadi yang beredar adalah produk makanan palsu yang mengandung zat-zat berbahaya bagi kesehatan.Â
Namun kadang yang menggelitik adalah ketika produk dalam negeri sulit berkembang karena tata kelola perizinan dan sertifikasi produk yang dianggap rumit, ternyata ada jenis produk luar yang sebenarnya tidak sehat namun bisa masuk dengan leluasa, contohnya kasus sardeng yang mengandung cacing beberapa waktu lalu yang sempat menghebohkan publik di negeri ini. Beruntungnya saat ini pemerintah semakin ketat terhadap peredaran produk import maupun domestik, namun terkait sertifikasi kehalalan lebih dipermudah.