Oleh karena itu dalam Peraturan Daerah seperti DKI. Jakarta, dan di berbagai daerah lain pun ada pelarangan melakukan aksi meminta-minta di tempat umum karena melanggar ketertiban umum.
Selain karena melanggar undang-undang, aksi ini sepatutnya dihindari lantaran sangat merugikan diri sendiri jika hal ini dilakukan di tempat yang tidak sepatutnya. Seperti ada beberapa pengguna yang menggunakan kubangan lumpur, sungai, danau, rawa-rawa sebagai tempat melakukan live.
Untuk mendapatkan uang saja belum tentu tercapai, kenapa harus mengorbankan diri sendiri?
Bayangkan saja jika ketika live di sungai, tiba-tiba muncul buaya yang menerkam, atau ular yang mematuk, bukankah ini sangat berbahaya? Dan ironinya ada para lanjut usia yang nekat live dengan mandi lumpur yang tentu saja membahayakan kesehatannya.
Lalu solusinya apa dong kalau semua dilarang?
Banyak cara yang bias dilakukan ketika live, dan banyak pula yang sampai menghasilkan pundi-pundi uang selain melakukan aksi kurang baik seperti disebut di atas.
Misalnya melakukan live di saat menanam padi, mencukur rambut, merawat hewan, memasak makanan atau mengolah makanan ekstrim yang ternyata banyak juga peminatnya.
Adalagi yang membuat aksi memasak dengan cara konyol dan bahasa yang lucu. Yang ternyata mengundang penonton.
Namun sekali lagi cara ini hanya contoh yang bias diikuti demi mendapatkan Cuan dengan cara yang lebih baik. Meskipun faktanya tidak mudah  melakukannya dan kerja keras sekaligus kuota.
Perlu ada kepedulian kaum kaya dan dermawan untuk terus menyisihkan sebagian rezeki mereka agar dapat bermanfaat bagi masyarakat yang mengalami kekurangan. Dampaknya dengan bantuan rezeki tadi bisa mengubah pola pikir dan cara mencari penghasilan, yang awalnya meminta-minta maka lebih memilih berjualan atau hal lain yang lebih bermanfaat.
Tiktok dan social media lain ibarat sebilah pisau, yang bisa digunakan untuk kebaikan atau kejahatan. Bisa dipakai mencapai popularitas maupun kesengsaraan.