Pertanyaan sederhana jika berhadapan dengan kondisi Covid-19 saat ini. Di mana semua hal serba terbatas dan semua hal semakin sulit, yang memaksa atau dengan kerelaan pribadi mau mengubah gaya hidup yang bisa jauh berbeda dari awal-awal sebelum pandemi ini melahap semuanya.
Satu pertanyaan seperti "bisakah kita membuang rasa gengsi?". Jawabannya tentu bervariasi. Ada yang seketika mengatakan bisa, namun kemungkinan besar ada yang mengatakan sebaliknya, maaf aku tak bisa membuang rasa gengsi itu.
Misalnya ketika dalam kehidupan sehari-hari selalu berpenampilan perlente, selera makan yang tinggi dan gaya hidup yang termasuk perfeksionis. Kebetulan karena wabah masih menyerang, tiba-tiba harus berpenampilan sederhana, makan apa adanya dan bergaya seperti orang biasa. Apakah semua pasti bisa melampauinya? Maybe yes maybe no. Jika di antara kita memang dari golongan menengah ke bawah, sepertinya untuk menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada bukanlah hal yang terlalu sulit. Tapi jika kita termasuk kalangan orang-orang yang mewah, maka mengubah prilaku atau kebiasaan sederhana tidaklah mudah. Ada rasa gengsi dan rasa takut jika suatu saat nanti dibuly atau dicaci.
Jika memang mampu membuang rasa gengsi ternyata terlalu banyak pertanyaan yang datang. Kenapa kamu gak nge-clubbing lagi? Kenapa makannya cuman di warteg? Atau jika terbiasa memakai kendaraan mewah kog ndilalah harus memakai sepeda atau bis kota misalnya, tentu ada banyak tanya yang meluncur ke hadapan kita.
Setiap orang akan mampu menjadi sederhana, tapi tidak semua orang sanggup mendengar aneka cacian yang siap menghadang. Percaya atau tidak banyak orang yang mau hidup apa adanya, tapi ketika hujatan atau cacian menghadang, nyatanya banyak yang tidak mampu melaluinya.
Seperti kala pandemi ini, seorang pengusaha terbiasa dengan fasilitas mewah dengan karyawan yang melimpah. Penghasilan yang terus masuk ke rekening-rekening mereka. Ketika covid-19 melanda, tak sedikit yang harus gulung tikar, karyawan drumahkan dan segala fasilitas yang dimiliki harus raib entah kemana. Sang pengusaha kembali merintis dari titik nol, ada yang bisa bertahan dengan modal yang tersisa, adapula yang sama sekali tidak tidak mampu bangkit karena aset yang disita bank.
Siapakah mereka menghadapi kenyataan itu? Siapkah mereka menerima konsekuensi kehidupan yang jauh dari apa yang diperkirakan sebelumnya? Rasa-rasanya sulit, jika rasa gengsi sudah mendarah daging.
Yang biasanya berkumpul dengan para kolega dengan jas yang mahal, rekening yang tak pernah kosong dari rupiah dan fasilitas yang mencukupi, tiba-tiba harus tercerabut terbawa angin prahara wabah yang meluluh lantakkan semuanya.
Jika mereka tahan uji dan bermental besi, terjangan badai bukanlah hal yang sulit untuk dihadapi, kalau mereka adalah kaum yang bermental kerupuk, maka akan mencari jalan pelarian yang paling mudah. Meskipun memalukan akan dijalani.
Membuang Rasa Gengsi, Bukanlah Kerendahan Diri