Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Respons dalam Mendengar Tangis Anak, Catatan Seorang Ayah

5 Juni 2018   13:24 Diperbarui: 6 Juni 2018   04:23 723
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa sih yang gak terharu jika disaat puasa kita mendengar suara tangisan anak yang meminta dibelikan sesuatu? Saya kira tidak hanya saya yang merasa iba jika mendengar tangisan anak. 

Meskipun bukan anak sendiri, namun sebagai seorang yang mempunyai anak, tentu rasa iba menggelayut dalam hati. Ialah tangisan yang keluar dari seorang cucu yang memang sudah dititipkan oleh ibu dan ayahnya karena harus merantau ke luar negeri. 

Untuk merespon tangisan anak, kita yang manusia penuh dosa tentu akan merasa iba. Apalagi  seorang Rasul, beliau selalu saja menangis jika melihat seorang anak menangis. 

Rasulullah adalah hamba Allah yang memiliki kelembutan hati, maka tidak tega jika ada anak-anak yang terisak karena mengharapkan sesuatu namun tidak kesampaian atau seorang anak yang merasakan kesedihan karena dilanda kelaparan misalnya.

Saya sebagai orang awam saja ketika mendengar seorang anak menangis serasa hati ini teriris-iris dan tak tega mendengarnya. Tapi ketika ingin membantu pun tidak berani khawatir sang nenek salah paham dan menganggap saya sok tahu dan mau tau urusan orang lain. 

Seorang anak yang sudah setahun yang lalu harus memendam kerinduan karena kedua orang tuanya mencari rezeki di luar negeri ini, sepertinya membuat perasaan ini turut iba dan tidak tega jika anak yang jauh dari orang tuanya ini harus bersedih. Jangankan melihat anak orang lain yang menangis, melihat anak sendiri saja tak tega. 

Meskipun tangisan itu bukan karena perut yang lapar, akan tetapi dikarenakan meminta sesuatu yang mahal harganya. Maka tak heran saya berusaha untuk menjauhkan dari toko mainan yang tergolong mahal. 

Toko yang biasa memajang mainan minimal seharga 50 ribu untuk satu mainan. Sedangkan anak sendiri kalau meminta mainan harus yang memiliki remote control. Kebayangkan kalau hampir setiap minggu ke pasar dia meminta mainan remot control yang berbeda? 

Beruntung saya bukan tipe yang suka ke pasar, karena untuk urusan rumah saya biasakan di warung tetangga yang tidak memajang mainan anak-anak mahal tadi. 

Merasakan haru akan tangisan anak bukan karena ingin memanjakan anak, tapi betapa tidak tega karena anak tersebut jauh dari kasih sayang orang tuanya. Seorang anak boleh jadi tidak pernah menyebut nama sang ibu karena terlalu lama ditinggal merantau, namun di dalam hati yang paling dalam, mereka selalu akan memanggil orang tuanya.

Semakin lama terpisah dari orang tua, apalagi ketika masih anak-anak menjadikan dua sisi yang bisa membentuk kepribadian anak, jika kebetulan pendidikan terhadap anak sudah tepat, maka sang anak menjadi anak yang baik atau sholeh. Tapi jika justru pendidikan anak dari orang lain ternyata sebaliknya, maka dapat dipastikan anak-anak ini akan salah mencari jati diri. Mencari tempat mengadu (curhat) dan menyalurkan kerinduan kepada orang yang tidak tepat.

Tangisan anak karena rindu belaian orang tuanya

Setiap anak tentu menginginkan selalu ada di sisi dan pangkuan orang tuanya. Karena memang secara kodrati, anak-anak akan selalu bersanding dan membutuhkan kasih sayangnya. Bukan banyaknya uang yang bisa dibelikan mainan atau jenis makanan yang dia suka. Karena lebih dari itu pertumbuhan batin sang anak akan sangat dipengaruhi oleh kasih sayang orang tuanya.

Apalagi anak-anak  yang masih di bawah  5 tahun (balita) tentu kedekatan batin seorang anak dengan orang tuanya amat diperlukan. Kedekatan batin antara anak dengan orang tua akan semakin memesatkan kemajuan pertumbuhan kejiwaan dan keberanian anak, ditambah lagi munculnya kepercayaan diri yang turut membantu anak-anak bertumbuh lebih baik dalam kehidupan sosialnya.

Sayangnya banyak orang tua yang kurang memahami ini, mereka lebih percaya jika anak-anaknya diasuh oleh asisten rumah tangga (baby sitter). Padahal seorang asisten rumah tangga tidak akan memiliki kepribadian dan atau sifat yang sama dengan orang tuanya.

Ada seorang perempuan yang begitu sibuknya dengan urusan pekerjaan hingga melupakan kewajiban pokok untuk mendampingi anak-anaknya. Mereka lebih suka jika anak-anaknya diurus asisten rumah tangga, hingga dewasanya dengan orang tua tidak lagi mengenal. 

Jangan heran jika di dalam keluarga yang modern dan super sibuk, seorang anak memanggil asisten rumah tangga dengan panggilan ibu. Sedangkan terhadap orang tua sendiri mereka malah memanggil tante.

Dan jangan heran pula jika kasih sayang anak pun terputus karena terputusnya kasih sayang orang tuanya kepada sang anak. 

Semua seperti hubungan sebab akibat yang selalu melingkupi kehidupan dan hubungan orang tua dan anak. 

Semua orang berharap memenuhi kasih sayang kepada anak-anaknya, tapi di sisi lain kondisi yang memang memaksa mereka untuk saling berpisah. 

Saya tidak bisa membayangkan anak-anak yang tumbuh tanpa pendampingan dan didikan dari orang tuanya, dan mereka lebih banyak bergaul dengan lingkungan yang justru menyesatkannya.

Tangisan anak bisa karena lapar atau karena menyimpan rasa lelah dan sakit dalam dirinya

Bagi anak-anak yang sudah bisa mengutarakan perasaannya, seperti sedih, gembira, sakit, lelah, benci  dan lain sebagainya tentu amat mudah untuk mengatasi persoalannya. 

Jika fisiknya tengah sakit, mereka langsung saja mengutarakan pada orang tuanya (khususnya ibu) "mah, kepalaku sakit." atau kepada ayahnya "yah, kakiku sakit karena keseleo". Namun faktanya anak-anak khusunya di bawah lima tahun masih banyak yang belum bisa mengutarakan masalahnya. Karena ketidak mampuan menyampaikan keluhannya itu timbulnya sakit sang anak semakin parah. 

Mereka hanya bisa menangis tanpa bisa mengatakan sakit apa yang diderita. Yang dibutuhkan adalah kepekaan dan kepedulian untuk selalu mendengar keluhan anak termasuk bagaimana merespon tangisan anak untuk mengetahui gerangan apa yang terjadi dan dirasakan.

Jika memang rasa sakit yang diderita tentu orang tualah yang akan bisa merespon apa yang dirasakan anak dan segera mencarikan obatnya. 

Sedangkan orang lain, baik asisten rumah tangga (baby sitter) dan kakek atau nenek sekalipun akan sangat berbeda dalam merespon keluhan anaknya. 

Meskipun sang nenek atau kakek lebih berpengalaman dalam mengurus anak, namun terkait pemenuhan kebutuhan batin anak amat ditentukan oleh keberadaan orang tuanya. Meskipun dalam situasi tertentu, adapula orang tua kadang malah tidak begitu memahami kondisi anak-anaknya sedangkan sang nenek atau kakek malah lebih peka. 

Beruntungnya anak-anak lebih suka tinggal dengan orang tuanya daripada dengan kakek atau neneknya. Semua memang tergantung  selera mereka. 

Dan yang pasti, anak dan orang tua tidak akan putus hubungan kejiwaannya, sedangkan dengan orang lain tentu berbeda konsekuensinya.

Memahami tangisan anak dengan memahami kebiasaannya

Memang ada yang beranggapan bahwa biarkan saja anak menangis, toh nanti akan berhenti sendiri, dan ada pula yang sebaliknya jangan biarkan anak menangis nanti timbulnya menjadi pribadi yang cengeng. Dan ternyata memang tangisan anak apalagi yang terlalu sering ternyata membentuk kepriabadian anak yang cengeng dan lemah. 

Mereka tidak lagi fokus menikmati kebahagiaan bersama orang-orang terkasih, namun justru banyak terfokus pada penderitaan yang dialami. 

Masih beruntung jika sang anak mengalami kemajuan mental yang lebih terbuka dan dewasa, karena banyak pula enerasi muda yang terjebak pada aksi cengeng, mudah mengeluh dan tidak mampu menyelesaikan persoalan dirinya

Padahal semakin mereka bertumbuh maka semakin banyak pula persoalan yang muncul, dan semua itu tidak akan terbentuk secara instan, namun mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang alamiah.

Jika anak menangis bukan karena sakit, biasanya karena ada permintaan yang belum dipenuhi, atau karena memendam rindu kepada sosok orang tua. Bahkan dalam beberapa penelitian menyebutkan bahwa keberadaan mental seseorang juga mempengaruhi kesehatan fisiknya. Begitu juga kondisi fisik tentu berpengaruh pada kondisi kejiwaannya. 

Memenuhi keinginan anak bisa dilakukan asal ada batas kewajaran, dan tentu saja harus dibatasi sesuai dengan batas yang bisa ditolerir dan disesuaikan kemampuan anak dan orang tuanya.

Seorang anak yang selalu saja menangis karena menyimpan duka di dalam hatinya akan bisa mempengaruhi pertumbuhan kepribadiannya, dampaknya bisa pula mempengaruhi rasa percaya dirinya. 

Memang sih tidak salah seorang anak menangis karena bisa mengobati luka dalam hatinya, namun luka itu tidak benar-benar sembuh tanpa dicarikan solusinya. Ketika mereka teringat lagi dengan apa yang ada dalam benaknya, maka mereka akan kembali menumpahkan air matanya, dan seterusnya.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun