"Pak, sahur kita mau makan pake apa? Tanya anakku yang pertama. Aku hanya terdiam. Namun sesaat kemudian kujawab "Ya nanti beli saja di warung, kan lebih gampang."
Itulah obrolan kami berdua ketika hendak menikmati santap sahur. Obrolan ringan di antara ayah dan anaknya yang seperti tidak memiliki beban. Meskipun hakekatnya bulan Ramadhan ini tidak sama dengan dua tahun belakangan. Kami bersantap sahur dengan menggelar karpet dan duduk bersama di bawah. Dengan menu seadanya kami tetap menikmati sajian nikmat dari ibunya. Meskipun kini sang ibu tengah merantau, tetap saja menu hidangan untuk santap sahur harus tersedia.
Begitu pula ketika neneknya masih hidup, kami sekeluarga menikmati sahur di rumah sang kakek sekaligus melepas kangen bersama keluarga tercinta. Bukan terkait apa menu yang dihidangkan, tapi kebersamaan dalam santap sahur itulah yang dicari. Suasana yang biasanya ramai, karena anak-anak berkumpul maka suasana semakin ramai. Bayangkan dengan tujuh orang anak yang kini sudah besar-besar, tentu keramaian semakin berkesan. Keluarga besar berkumpul suasana pun semakin terhibur.
Namun, kini saat-saat indah itu agak tertelan usia, sang nenek yang biasanya menyiapkan semua yang ada di dapur untuk dinikmati para cucu dan anak-anaknya, kini sudah tidak ada lagi. Karena sang nenek sudah terbaring di rumah terakhir. Rumah yang semua orang akan menemuinya jika ajal sudah menjemput. Tinggal sang kakek yang harus menikmati santap sahurnya dengan satu-satunya anak yang masih tersisa di rumah.
Sedangkan di rumah sendiri, semua nampak sepi karena sosok yang biasanya mempersiapkan santapan sahur rela meninggalkan rumah. Saya tidak paham apa yang dicari, sedangkan buah hati pun menantinya tiada henti. Detik berganti detik, bulan berganti bulan, hingga di Ramadhan kedua ini suasana masih terasa sepi. Tapi bagi kami, ada dan tidak adanya sang ibu bukan menjadi persoalan, yang penting semua keluarga sehat wal afiat bisa menikmati santap sahur dan berpuasa dengan lancar.
Ketika sahur, anak-anak berebut paha
Bersantap sahur biasanya kebalikannya dengan berbuka puasa. Pada saat berbuka puasa semangat untuk menikmati hidangan pastilah tinggi. Semua karena dorongan lapar dan haus karena seharian berpuasa.Â
Sedangkan pada saat sahur beda kondisinya, karena pada saat sahur tubuh lagi kantuk-kantuknya dan badan juga lemas namun masih merasa kenyang. Apalagi di malam harinya tubuh juga sudah kelelahan karena mengikuti shalat tarawih dan witir yang jumlah rekaatnya 23 rekaat. Tentu badan terasa linu atau pegal dan kaki terasa nyeri. Apalagi di seminggu awal Ramadhan, rasa-rasanya menikmati seteguk air putih saja sudah malas. Tapi karena godaan malas itulah santap sahur dihukumi sunnah, karena beratnya menjalaninya. Dan yang pasti karena Rasul pun memberi contoh kepada kaumnya untuk bersantap sahur.Â
Ada yang unik ketika bersantap sahur yaitu anak-anak berebut paha...
Paha apa ya yang dimaksud? Ya tentu paham ayam lah. Masak paha kerbau? hehe
Menu yang bisa dibilang mahal namun mesti ada meskipun tidak setiap hari dibeli. Karena untuk memenuhi kewajiban menjaga kesehatan keluarga kami memang harus menyiapkan hidangan yang memenuhi standar gizi. Apalagi keluarga besar memang hobi makanan yang berbau daging. Enah daging sapi, kambing maupun ayam.