Saya mungkin seorang ayah sekaligus putra seorang santri yang mendadak kaget, lantaran gadis kecilku yang sebentar lagi memasuki sekolah lanjutan pertama ingin melanjutkan pendidikannya di pesantren. Padahal sebagai orang tua seharusnya langsung senang dan bangga karena sang anak ingin menggali ilmu agama lebih mendalam.
Mengapa kaget? Karena biasanya orang akan merasa ngeri ketika harus melanjutkan di pesantren. Secara gitu loh, pesantren adalah lembaga pendidikan yang santrinya harus bersiap-siap meninggalkan rumah dan berpisah jarak dari keluarganya. Mereka harus mampu mandiri jauh dari orang-orang yang dicintainya demi untuk menuntut ilmu. Selain itu umumnya di pesantren kan memang serba terbatas, susah main android, facebookan atau nonton tv. Apalagi jalan-jalan seperti di Sinetron itu.
Meskipun ada juga pesantren yang moderat dengan membebaskan santrinya bermain gadget, yang pasti aturan di pesantren amatlah ketat. Dan yang pasti bukan tempat untuk happy-happy, seperti di sekolah pada umumnya para siswa begitu mudahnya bermain kendaraan dan gadget tanpa dibatasi sedikitpun, tidak bisa bertemu antara laki-laki dan perempuan, kecual ada pengajian akbar. Dan tidak bisa corat-coret baju ketika pegumuman kelulusan.Â
Pesantren dengan aneka warna dan bentuknya  baik dari segi sistem pengajarannya yang tradisional maupun yang modern, memiliki aturan yang tidak boleh dilanggar. Salah satunya "nggak boleh bercampur antara laki-laki dan perempuan dan nggak boleh cengeng".
Jika melihat kondisi yang begitu ketat, kog saya jadi khawatir apakah anak saya mampu melewati ujian dalam menuntut ilmu itu nantinya?
Tapi ketika melihat para santri yang mampu menyelesaikan studinya sunggu ini adalah kebanggaan. Nggak kebayang betapa bangganya melihat sang buah hati memiliki pengetahuan agama yang semoga saja cukup sebagai bekal kehidupannya.
Ketika darah santri mengalir dari sang kakek
Berdasarkan sejarahnya, orang tua (kakek) memang jebolan pesantren. Menurut beliau waktu yang ditempuh selama nyantri kira-kira 11 tahun. Itupun belum sepenuhnya cukup jika ingin menggali ilmu keukhrawiyan itu.
Di Jawa Timurlah beliau nyantri. Sayangnya saya lupa nama pesantrennya. Yang saya ingat beliau sering menyebut nama Kyai Kholil yang menurut cerita beliau adalah kyai sepuh yang dikagumi.
Menjadi salah satu santri yang cukup lama ternyata tidak serta merta bisa mendirikan pesantren dan menjadi kyai atau ustadz, karena bagi beliau pesantren adalah tempat penggemblengan manusia untuk menjadi baik. Pasrah sepenuhnya pada Allah Swt yang memiliki hidup dan mati.
Pernah menjadi mubaligh yang kelewatan jujur lantaran nggak pernah mau menerima bayaran. Karena ilmu Allah itu tidak boleh dijual belikan, tidak boleh dikomersilkan. Makanya ketika masih aktif jadi mubaligh ibu sering mendapati ayah membawa bungkusan kue lantaran diberioleh ibu-ibu pengajian. Kalau sekedar makanan beliau mau menerima tapi kalau uang selalu ditolaknya. Untuk urusan rezeki sang ayah lebih baik bekerja sebagai petani atau kuli.