Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Pertanian Semakin Maju, Fenomena Pengangguran Baru

9 Mei 2018   18:49 Diperbarui: 9 Mei 2018   19:22 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa hari ini petani khususnya di Lampung patut untuk meningkatkan rasa syukurnya karena pertaniannya sukses dengan hasil yang sesuai dengan ekspektasinya. Lahan pertanian yang sudah diuri-uri kini bisa membuahkan hasil. Hamparan tanaman padi yang menguning kini secara bergantian dituai untuk kemudian bisa ditanami lagi.

Panen yang sedianya untuk menutupi lubang kerugian karena selama dua tahun mengalami puso, kini senyum bahagia terlihat menghampiri. Petani yang memang sepenuhnya mengandalkan hasil pertanian ini berharap hasil panennya bisa untuk modal lagi. Tak pernah berharap menggali hutang demi meneruskan usaha satu-satunya. Karena jika hasil tahun ini bisa menyisakan keuntungan untuk modal, maka di tahun berikutnya beban pelunasan kebutuhan dasar ini sudah tidak ada lagi.

Memang sih, selama ini pertanian menjadi ruh kehidupan masyarakat perdesaan yang kebanyakan masih dinikmati oleh lahan dan modal. Pemilik lahan dengan modal yang cukup tak mengalami hambatan yang berarti kalau ingin melanjutkan usahanya. Sedangkan pemilik modal bisa saja menyewa atau menggadai lahan pertanian  rakyat. 

Sedangkan petani tanpa modal, sulit untuk sekedar menutup kewajiban melunasi sisa hutang sebelumnya. Jangankan menutup hutang di koperasi, untuk memulai saja sudah sulit. Belum lagi masyarakat perdesaan yang tidak semuanya memiliki lahan, karena di antara mereka hanyalah seorang buruh atau pekerja kasar yang setiap hari bergelut dengan lumpur dengan upah yang tidak seberapa.

Beruntungnya, meskipun dengan upah yang pas-pasan, dengan mereka bisa bekerja saja sudah bersyukur apalagi jika upahnya merangkak naik seiring dengan kebutuhan hidup yang melejit. Bagaimana rasanya jika untuk bekerja saja sudah sulit lantaran digantikan oleh mesin modern. Tentu peran mereka sedikit demi sedikit semakin tergeser. Salah satu kemajuan teknologi pertanian adalah mesin pemanen padi.

Keberadaan mesin pemanen padi dan nasib buruh tani seperti buah simalakama, ketika berbicara tentang pertanian yang di hampir semua negara mengalami kemajuan, tentu Indonesia pun diharapkan turut serta menikmati kemajuan itu. Namun di sisi lain, dengan kemajuan itu ternyata melahirkan persoalan baru, banyaknya buruh tani yang mesti kehilangan pekerjaannya. 

Meskipun tidak semua lahan pertanian bisa dikelola dengan mesin modern, faktanya dengan keberadaaan alat pemanen tersebut mengurangi "gawe" para pekerja dari masyarakat yang notabene tidak memiliki lahan. Pemilik sawah bisa saja merasa senang karena hasil pertaniannya bisa segera dipanen dengan waktu yang relatif cepat tapi ada banyak petani yang mengeluh lantaran pekerjaannya hilang. Seperti pernyataan beberapa petani yang berprofesi sebagai tukang derep yang secara langsung merasakan dampak kemajuan teknologi ini.

Pekerjaan yang biasanya diselesaikan dengan waktu yang relatif lama dengan mempekerjakan orang yang relatif banyak pula, kini cukup dengan sedikit orang pekerjaan itu bisa selesai dengan lebih cepat.

Boleh jadi kondisi ini akan bersinggungan dengan revolusi industri yang terjadi di Inggris yang ternyata menuai gelombang PHK yang jumlahnya tidak sedikit,  1750-1850 merupakan masa di mana para pekerja mesti menggantungkan nasibnya dari sisa-sisa pekerjaan mesin. Pekerja baru semakin bertambah sedangkan ketersediaan lapangan pekerjaan semakin berkurang.  Hampir semua lini kehidupan sudah dikuasai oleh mesin-mesin industri dan mesin produksi.

Memang benar, kehidupan masyarakat semakin maju dan meningkatkan taraf hidup masyarakat, namun tidak semua bisa mengalaminya jika akses pekerjaan yang dihasilkan hanyalah bagi kalangan berpendidikan tinggi. Sedangkan rata-rata para buruh tani di Indonesia memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Mereka bekerja hanyalah mengandalkan  otot demi menyelesaikan pekerjaannya. Sedangkan mesin-mesin yang dihasilkan tentulah membutuhkan tenaga-tenaga produktif yang dibekali dengan skill yang memadai.

Seandainya di antara pekerja kasar tersebut memiliki kemampuan tertentu tentu tetap terlibas oleh mesin-mesin produksi - khususnya pertanian-yang lebih membutuhkan tenaga kerja yang sedikit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun