Ketika FIksianer pun Saling "Gebuk", hemm judul ini sepertinya berkonotasi kekerasan yang dilakukan oleh fiksianer atau para penulis fiksi di kompasiana. Saling gebuk konotasinya pastilah upaya saling melakukan pemukulan. Entah dengan sandal, sepatu, tas belanjaan atau make kaos kaki, yang penting bisa memukul dan terpukul. Pukul-pukulan juga bukan berarti melakukan tinju atau boxing, lantaran menurut penelitian sederhana saya kebanyakan fiksianer adalah penulis fiksi dan bukan petani. Jadi gak mungkinn juga mereka melakukan kekerasan di atas ring.
Kembali ke kompleks, mengapa para penulis "sastra" itu saling gebuk? Mengapa mereka begitu tega saling menyakiti kawannya, seperti yang dilakukan orang tua dan anaknya terhadap gurunya di Makasar, seorang guru yang umurnya juga sudah cukup tuwir ternyata malah dikasih bogem mentah. Ini sebenarnya sasana tinju atau sekolah sih? Heran. Kog aksi gebuk-gebukan itu dari satu tempat ke tempat lainnya saling bersambut? Apakah ini memang sebuah kemajuan bahwa rakyat di negara ini suka dengan olahraga tinju?
Kalau itu memang sudah jadi tren, apa sebaiknya saya ikut-ikutan masuk ring jadi sekali tonjok saya langsung pingsan. Kalau menang pastilah banyak duitnya. Ah, entahlah, kog dunia pendidikan sudah sangat kacau, kekerasan atas nama arogansi semakin menjadi-jadi seperti sengaja disulut agar negeri ini semakin suka kelahi. Kalau hanya sebatas fiksi sih gak masalah, tapi kalau sudah masuk ke ranah faktual ya alamat tidak baik untuk kesehatan ibu dan anak.
Lalu, bagaimana sih kog fiksianer itu saling gebuk? Apakah suami atau istri mereka saling selingkuh? Atau utang tak dibayar malah yang mengutang kabur ke Jepang? Atau mereka saling pinjam kaos oblong tapi gak dikembalikan karena sudah kadung bau? Ternyata ketika saya telusuri bukan karena hal sepele itu. Tapi karena masing-masing penulis fiksi itu mengklaim bahwa tulisannya telah dicopy, dijiplak dan dicuri kekayaan intelektualnya oleh sesama fiksianer.
Oalah, kenapa ya kerjaan curi mencuri menjadi idola. Padahal fiksi itukan "liar" kadang watak dan alur cerita itu bisa sama. Seperti saya pernah bermimpi menjadi presiden dan dipuji dan dihormati sama seperti rekam jejak pak Jokowi, semua perjalan hidup sama persis. Jadi saya sampai tertawa sendiri ketika bangun kenapa mimpi itu sangat sama dengan yang dialami pak presiden?Â
Beruntung hanyalah mimpi, jadi tidak perlu ditanggapi. Tapi kalau kasus pencurian karya tentu sangat memprihatinkan.
Siapakah si pencuri dan yang dicuri? Maaf tidak saya sebutkan di sini karena takut mereka yang terlibat skandal copy paste akan saling jambak-jambakaan gak cuman gebuk-gebukan, karena kasur di rumah bisa hancur karena dicakar-cakar. Dan herannya karena aksi curi mencuri hak intelektual itu keduanya atau ketiganya tidak saling bertegur sapa.
Padahal sebelum-sebelumnya mereka saling bercanda, merayu manja, saling memuji dan membangga-banggakan ibarat kumbang yang memuji indahnya sang mawar. Sayang di dunia fiksi tidak ada yang nyata dan abadi. Semua menjadi mimpi yang tak berujung. Mencintai dan menyayangi pun sebatas mimpi dan fiktif, semua menjadi sesosok boneka yang digerakkan oleh mesin cerdas bernama fiksi, karena dunianya sudah kadung fiksi maka saudara sendiris aja dianggap tidak ada.
Inilah peristiwa gebuk-gebukan tadi, semoga sengketa tulisan itu bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Kalau tidak selesai, selesaikan di muka hukum. Jadi sedikit-sedikit hukum yang berbicara. Jangan seperti kasus sianida, yang meninggal sudah tenang di alamnya, giliran yang berbuat, pengacara dan hakim malah saling gebuk-gebukan. Untung gak nggebuk make kolor, karena itu akan sulit dilakukan.
Ya sudah, saya hanya mengingatkan, jangan memperburuk citra fiksianer dan fiksiana, karena meskipun saya fiksianer yang abal-abal, tapi karya saya tidak mencuri atau plagiat. Saya jujur saya gak bisa bikin yang fiksi, karena lebih suka yang real atau fakta. Buktinya anak saya sudah tiga dan keren-keren.Â
Mohon maaf jika mengganggu ketenangan Anda sekalian.