Saya tertarik dengan komentar dan tulisan temen-temen di media sosial yang selalu saja mengatakan "mendingan sertifikasi dihapus, toh kinerja guru tidak benar dan menurun". Dan beberapa penilaian negatif lainnya yang dilontarkan oleh guru honorer kepada guru PNS yang notabene juga mengalami masa-masa sulit agar menikmati kesejahteraan.
Bagaimana pernyataan bahwa mendingan sertifikasi dihapus adalah pendapat konyol dan terkesan munculnya iri dan dengki di antara orang-orang yang sama-sama berjuang dalam mendidik anak bangsa ini. Mereka begitu antusias dan bernafsu ingin segera mengakhiri kebahagiaan guru PNS yang sudah bertahun-tahun yang lampau berjuang ingin mendapatkan kesejahteraan. Mereka bermimpi bagaimana bisa mempunyai tabungan cukup untuk masa depan mereka dan tentu saja mereka yang sudah duluan diangkat menjadi pegawai negeri juga tidak semata-mata langsung mendapatkan kesejahteraan, lantaran di antara mereka yang katanya abdi negara ini masih banyak yang kehidupannya yang pra sejahtera.Â
Mana mungkin dianggap sejahtera jika guru tersebut setelah bekerja mengajar sorenya harus menjadi pemulung, atau ada yang nyambi membuka bimbel dan honor di tempat lain. Apa tujuannya melainkan hanya untuk menyambung nafas dan pendidikan anak-anaknya.Â
Kalau memang guru sudah sejahtera, potret guru-guru yang saya sebutkan di atas tentulah tidak ada lagi. Sebuah ironi yang selalu mengatakan bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, meskipun kepahlawanan mereka disama ratakan seperti seorang "babu". Mohon maaf jika istilah itu teramat kasar, lantaran persepsi yang muncul seolah-olah pegawai negeri adalah anak emas pemerintah dengan seabrek tunjangan. Padahal tunjangan itu tak lebih dari separuh kebutuhan yang semestinya tercukupi oleh guru yang bersangkutan. Bagaimana mereka memikirkan membangun tempat tinggal, kredit kendaraan, dan biaya sehari-hari yang tak juga murah dan harus dipikirkan di sela-sela mereka mengabdikan dirinya demi mencetak generasi bangsa.
Dan ironisnya lagi, ketika para siswa tiba-tiba menjadi amburadul dan karakternya rusak, semua ditimpakan kepada para guru PNS itu. Padahal para guru itu sudah berjuang habis-habisan demi mendidik anak-anak negeri ini, meskipun adakalanya usaha yang keras itu meski mendapatkan konsekuensi mendapatkan hukuman yang menyakitkan lantaran melakukan sedikit kekerasan kepada muridnya. Mereka mendidik dengan maksud menjadikan anak-anak negeri ini semakin baik tapi selalu saja menjadi sorotan bahwa guru itu adalah selalu saja salah. Padahal media massa saat ini adalah pencetak sampah-sampah masyarakat. Dan lembaga pendidikan termasuk gurunya ibarat keranjang sampah yang dipaksa harus mengolah kembali sesuatu yang rusak karena media tadi.
Apakah pandangan itu adil kepada guru? Sepertinya tidak bukan? Meskipun ada yang menganggap bahwa memang seperti itulah nasib guru yang harus selalu menerima konsekuensi mendapatkan sanksi hukum jika melakukan tindakank yang mendidik tadi, toh kehidupan mereka masih saja jauh dari sejahtera. Seandainya ada yang terlihat mentereng kehidupannya, bisa dihitung jari berapa persen dari mereka dibandingkan dengan keseluruhan guru yang jumlahnya jutaan orang.
Terlepas dari apakah tunjangan profesi itu layak atau tidak, semestinya guru honorer punharus mawas diri, bahwa perjuangan guru menjadi pegawai negeri juga tidak mudah. mereka melalui perjuangan hingga bisa diangkat pun ada yang harus melalui honorer juga hingga bertahun-tahun, ada yang harus mengikuti tes hingga berkali-kali dan itu tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Bahkan ada yang rela mengeluarkan uang ratusan juta rupiah berharap bisa diangkat menjadi PNS meskipun kebanyakan mereka telah ditipu.
Itulah sosok nyata dari seorang PNS mengapa kehidupan mereka mesti sejahtera. Bagamana mereka bisa mendidik dengan nyaman jika kehidupannya saja masih acak-acakan. Â Baru diangkat PNS saja SKnya sudah diagunkan di BANK demi ingin memiliki rumah dan kendaraan. Sedangkan apa yang terlihat kelihatannya kehidupan mereka berkecukupan padahal hanya sebagian kecil saja yang bisa menikmati betapa menjadi abdi negara itu sungguh kebahagiaan yang hakiki. Mereka berusaha mencintai pekerjaannya meski kadang penghasilannya tidak sesuai. Dan mereka menjalani semua dengan tekun demi menjalani profesinya dengan tanggung jawab. Siapa yang dididik? merekalah para generasi muda yang hendak membangun bangsa ini menjadi lebih baik lagi.
Kembali mengapa sih ada iri dan dengki di antara sesama pendidik, jika ternyata proses yang dilalui juga tidak mudah. Dan tak perlu pula mendiskreditkan guru PNS itu sedangkan rezeki masing-masing sudah ada yang mengatur. Dan semua berharap mendapatkan perhatian bukan dari guru PNS itu sebuah kesejahteraan dan diangkat menjadi PNS, tapi dipikirkan oleh pemerintah selaku pengelola negara ini.
Mengapa mau menjadi guru honorer, jika dalam bekerja tidak ikhlas dan selalu protes ingin diangkat, meskipun ketika mendaftar menjadi honorer selalu membuat pernyataan bahwa tidak berhak menuntut diangkat menjadi PNS. Â Apakah mereka lupa dengan pernyataan itu? Atau memang sifat iri dan dengki sudah kadung menutup hati dan fikiran?
Mohon maaf jika kurang berkenan.