Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[My Diary] Nak, Ini Sepatu Kuliahmu

11 April 2016   16:28 Diperbarui: 13 April 2016   10:22 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Dear Diary,

Aku masih bersyukur, mengapa  aku bisa mendapatkan kesempatan belajar di perguruan tinggi. Padahal di luar sana, mereka yang punya orang tua mampu saja malas untuk sekolah tinggi-tinggi. Katanya daripada untuk sekolah tinggi, mending untuk membeli sawah dapat berhekta-hektar. Jadi sempat nge-down sih, kalau dapet omongan tetangga, bahwa kuliah itu nggak penting banget. Lagian untuk apa sekolah tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya nganggur. Tapi bapak dan emakku dan aku sendiri berpikirnya beda banget dengan mereka. Meskipun orang kampung, kalau pendidikan tinggi tentulah pengalamannya lebih banyak, kenalannya juga orang kuliahan dan pastilah pekerjaan jg gak di tempat panas-panasan. Sudah begitu dapat jodoh ya kebanyakan sesama kuliah juga. Hem.

Saya cuman nggak habis pikir, mereka yang punya modal kenapa malas-malasan, mereka habiskan untuk merokok dan berfoya-foya, pacaran dan senang-senang. Ada juga yang mau kuliah, ee malah di kampus ada yang cuman pacaran. Ngalor ngidul bawaannya perempuan. Padagal orang tuanya sudah susah-susah nyariin biaya kuliah tapi malah dihabisin sama pacar nggak jelasnya. Ee lama-lama hamil duluan. Bahkan ada juga kenalan aku yang justru menjadi selingkuhan seorang sopir beranak dua. Sampai sekarang istrinya gak terima kenapa suaminya selingkuh sama mahasiswi itu.

Sering aku melihat kalau temanku itu kuliah, bawaannya nyamperin pacarnya yg berputra dua itu. Meskipun istri dari pacarnya itu sudah marah-marah ke temanku, tapi ya masih saja ia rela berpacaran. Tapi memang si laki-laki juga nggak jelas, sudah punya istri malah berselingkuh. Ehhh, ngapa juga aku nyeritain yang begituan ya? Apes.

Ah, biarkan saja yang mau selingkuh atau mau pacaran, yang pasti, saat ini aku bahagia karena bisa berkuliah, meskipun penampilan pas-pasan, sepatu juga dari dikasih orang maka tidak menyurutkanku untuk berkuliah di sana. Aku bangga bisa membuat orang tua bangga juga. Meskipun ngos-ngosan nyariin biaya untuk kuliah, tapi tidak khawatir kalau uang kuliahku akan digunakan pada hal yang gak bener. 

Menjadi mahasiswa baru tentulah kebanggaan, tapi minder juga kalau penampilan kita kelihatan norak, orang ndeso kog sepatunya yang mahalan, kayaknya temanku juga heran, kenapa aku bisa make sepatu mahal itu. Tapi biarlah, yang penting itu nggak nyolong. Sekali masuk langsung dapat teman baru, anak guru yang rumahnya juga jauh sekali, kalau dari kampungku bisa sehari barusan nyampek ke rumahnya. cantik orangnya dan santun budi bahasanya, Namanya Nur, dia anaknya seorang guru. Semenjak perkenalan aku langsung minder, dan hanya menjadikan teman biasa saja. Meskipun dia tertarik padaku selalu aku tolak. Preeet.

Lain lagi dengan temanku yang lain, ia dari rumah naik sepeda sendirian, gak mikir malu atau apa yang penting nggoes padahal jauhnya bisa 30 km, tapi herannya kog sanggup sampai di sana. Tapi memang ia perginya pagi-pagi buta, kira-kira pukul lima pagi setelah sholat subuh. Gak mikir lagi meskipun jauhnya gak ketulungan. Aku benar-benar salut atas usaha temanku. Tapi kalau aku mau niru kayak dia kayaknya gak mungkin, lantaran jauhnya rumahku 60 km. emang mau berapa kecepatan biar sampai dalam satu jam? Make motor saja bisa satu jam karena jalannya yang ramai kendaraan umum. Wah gak habis pikir deh. Tapi mendingan naik bis, meski berdiri, aku masih bisa bertahan sampai di tempat. Senengnya lagi kalau ada kawan beda perguruan tinggi, anaknya cantik secantik bidadari, maka aku semakin bersemangat. Tapi untuk mendekatinya, harus mikir dua kali, boro-boro mau ngajakin ngobrol, ngliat penampilanku saja pasti dia langsung eneg.

Setiap hari minta sangu orang tua lima ribu sekali jalan, jadi sepuluh ribu pulang pergi tentu gak murah, dengan hanya penghasilan 50 ribu, dan bapak saja gak mesti dapat duit kalau lagi sepi order, maka aku memilih ngontrak saja. Ngontrak yang gak perlu keluar biaya. Mana ada? Ah pastilah ada, karena aku banyak sodara di kota. 

Dear Diary,

Sampailah aku di rumah saudaraku, aku memanggilnya paman, karena yang laki-laki adalah kakaknya emak, jadi tidak sungkan lagi jika tinggal di sini. Tapi karena aku numpang gak make bayar, alias gratis, maka kompensasinya aku harus bawa beras sendiri dari rumah, dan setiap hari harus membantu pekerjaan rumah pamanku, mengisi bak mandi, mencuci piring, nyuci baju dan menyiram bunga, bahkan menyapu sudah menjadi kebiasaanku. Walah kog seperti pembantu? Emang begitu keadaannya. Pagi selalu pukul empat pagi, karena harus siap-siap sholat subuh dan menuju dapur karena harus bantu-bantu bibi mencuci baju dan cuci piring. Itu gak dibayar karena aku sudah tinggal di sana tanpa membayar sepeserpun. Padahal pada saat itu, untuk kos perkamar minimal 1 juta saja pertahun. Jaman dulu sudah mahal banget. Sudah selesai mencuci, aku harus mengisi bak air, sesudah itu harus menyapu halaman dan menyiram bunga. Untung aku laki-laki yang berfisik kuat, kalau cewek paling2 meriang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun