Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Wanita Penjual Nasi di Warung Kecil Sekolah (Bag. 2)

26 Maret 2016   00:09 Diperbarui: 30 Maret 2016   11:02 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Gambar : www.kaskus.co.id"][/caption]

Tiba-tiba, Ina memberontak dan melarikan diri dari dekapan ibunya. Kala itu ibunya tengah menyisir rambutnya yang kusut setelah menikmati air segar di pagi hari itu. Ia bangun agak kesiangan lantaran kelelahan karena bermain ponsel sembari memainkan televisi usangnya. Televisi empat belas inci yang dibeli ayahnya dua belas tahun lalu. 

Ina belum bisa menyisir rambut sendiri, jadi ibu lah yang sejauh ini menyisir rambutnya dan menyiapkan pakaian sekolahnya. Seringkali pakaian yang semestinya dikenakan malah dibuang begitu saja. Mbak Yani mesti berusaha sabar menghadapi kondisi anaknya ini.

Untung saja dagangannya hari ini sudah ia persiapkan sebelumnya, dagangannya itu ia jajakan di kantin SD di desanya juga. Ia memang sudah lama berjualan di situ semenjak mereka menikah. Hingga akhirnya aktivitas itu agak teranggu lantaran kehadiran anak pertamanya.

Barang dagangannya memang lumayan banyak, meski tidak semua dibuat sendiri, tapi melihat rumitnya mengarahkan anaknya yg istimewa ini, kadang pekerjaannya terbengkalai. Beruntung juga sang ayah juga selalu siap sedia menemani sang istri meskipun rasa lelah menghantui. Usaha untuk menyambung nafas dikala suami tidak selalu mendapatkan rezeki jika orderan sepi.

"Pah, kenapa sih mbak Niken itu selalu saja mengolok-olok kita? Sembari tangannya meraih wadah untuk dilap yang kemudian akan ia gunakan sebagai wadah jajanannya.

Suara mbak Yani memecah kesunyian pagi itu. Sang suami yang tengah menata dagangannya pun jadi sedikit terhenyak.

Malam itu ia merasa sakit hati lagi, lantaran tetangga sebelah mengolok-olok anaknya dengan sebutan gila. Tetangganya marah dengan mengata-ngatai anaknya lantaran pot kesayangannya dipecahkan oleh Ina. Kala itu Ina tengah bersama ibunya di beranda rumah. Tiba-tiba Ina berlari sembari menendang pot kesayangan yang baru dibelinya.

"Ya sudahlah, Mah. Kita mesti sabar ngadepin orang begitu."

"Kita harus maklum, kan mereka tidak tahu bagaimana susahnya punya anak seperti Ina."

"Biar Allah membalas olokan mereka ya, Pah."

Mbak Yani mendoakan ulah tetangganya itu. Nampaklah ia amat kecewa dan menaruh dendam lantaran kehidupan anaknya yang dianggap kurang baik itu justru menjadi musibah bagi tetangganya. Ia nampah geram dan berusaha untuk meluapkan emosi yang menyeruak dari dalam sanubarinya. Suaminya hanya cukup menjadi pendengar yang siap mendengarkan keluhan istrinya. Meski demikian, sang suami tak begitu mudah untuk meluapkan rasa kesalnya itu. Ia berusaha menenangkan hati istrinya.

"Huus, jangan membalas olokan mereka, Mah!"

"Kita mesti sabar, mudah-mudahan kita selalu diberikan ketabahan."

"Tapi mereka sudah keterlaluan, Pah!" Emosi mbak Yani semakin meledak-ledak. 

"Bisa nggak sih mereka menaruh kasian sama kita. Sudah tahu kita lagi kena musibah, malah mengolok-olok." 

Nampak raut kekecewaan mbak Yani melihat anaknya yang selalu saja menjadi bahan hinaan. Rasa-rasanya semua orang seperti melemparkan kotoran ke muka mereka. Dengan dalih kesombongan dan keangkuhan, para tetangganya itu terus saja menghujatnya dan memamerkan kebaikan anak-anak yang lain.

"Cuman gara-gara pot saja mereka mencela anak kita seperti itu. coba kalau anak mereka sendiri." 

"Padahal Ina kan keponakan dia juga."

Gerutu mbak Yani, sambil meletakkan lap di atas meja di depannya. Suaminya nampak menenangkan dirinya, kedua tangannya memeluk tubuh anaknya, sembari tersenyum melihat Ina yang nampak baik-baik saja, meski dalam dirinya menyimpan banyak potensi. Suaminya menatap nanar, sambil berbisik: 

"Biarkan saja mereka selalu mengolok-olok kita, karena Ayah yakin kehidupan kita akan lebih baik. Paling tidak semakin banyak orang yang mengolok-olok akan mengurangi dosa-dosa kita. Dan kita termasuk hambaNya yang tengah diuji."

Bisik lirih suami belum membuat Mbak Yani meluruh. Namun, ternyata bisikan itu semakin menguatkan hatinya bahwa ada rahasia besar yang Tuhan berikan kepada mereka. Ia berusaha tegar, tapi hatinya belum menerima dengan sepenuhnya.

"Selalu saja Ina diolok-olok. Dikatain seperti anak gila lagi. Emangnya anak kita gila?"

"Sudah, Mah!" Suaminya berusaha menghentikan keluh istrinya itu.

"ikhlaskan saja. Toh, kita masih bisa merawat anak kita kan?"

"Gak usah pedulikan mereka yang mengolok-olok. Lama-lama akan capek sendiri."

 

Air mata menetes di pipi mbak Yani yang sebentar lagi usai menyelesaikan pekerjaanya. Sembari ia mengusap air matanya yang jatuh di pipinya. Ia tak sadar bahwa jam dinding terus berdetak. Dan dinding rumahnya seakan-akan menatap kesedihannya itu dengan amat ibanya.

Angin mendesis kencang, menyusup dari balik jendela rumahnya yang terbuka. Cahaya pagi menerangi rumah sederhana itu.

"Sudahlah, Mah!" "Kita doakan saja semoga mereka memahami keadaan anak kita." "Mungkin karena mereka tidak tahu bahwa anak kita ini memang butuh perhatian."

Sang suami menghela air mata istrinya, sembari menepuk pundak istrinya dengan amat mesranya. Kesedihannya pun sekejap sirna. 

Keluarga mbak Yani selalu saja menjadi bahan cemoohan semenjak kelahiran anak pertamanya itu. Mulanya mereka amat bahagia karena dikaruniai seorang anak. Tapi ketika melihat kondisi putrinya yang berbeda dengan teman sebayanga, maka mereka menjadi amat terhina.

Kesedihan selalu saja menghiasi kehidupannya.

"Kemarin psikolog itu nyuruh kita daftarkan Ina di SLB. Ah saya malu kalau Ina besekolah di sana." Cecar mbak Yani sambil mengingat pesan psikolog terkait sekolah bagi anak2 ABK.

"Ah, Ayah juga malu. Kan kita bisa coba daftarkan Ina ke SD saja. Siapa tahu ada peningkatan." Mereka berusaha meyakinkan bahwa anaknya sama dengan anak lain.

"Ya sudah, coba kita daftarkan dulu ke SD, ya Mah?

Suaminya mengalau kesedihannya sambil megang bahunya yang lemah.

"Iya." Jawab mbak Yani lirih.

Terlihat sekali sang istri begitu lelah. Meskipun kesedihan masih nampah di wajah, suami berusaha menenangkan sang istri sembari memeluknya dengan erat.

Di tempat lain nampak Ina tengah asyik bermain-main dengan bonekanya. boneka usang yang diperoleh dari pamannya.

Mereka beranjak dari tempat duduknya, keduanya bergegas keluar rumah, dilihatnya aneka barang berantakan sekali. Nampak sepatu dan sandalnya juga berantakan. Tak ada yang rapih di rumah itu. Semua acak-acakan.

"Mah, sepatu ayah mana?" Suaminya berkeliling-keliling mencari-cari sepatu. Biasanya terletak di rak sepatu bersama sandal lain. 

"Nggak di situ, Pah?" Mbak Yani menanyakan keberadaan sepatu yang biasanya di rak sepatu.

Sang suami menjawab: "Nggak ada tuh. Kemana ya, kog lenyap begini?

"Pasti ini ulah Ina yang melempar sepatu Ayah." Sembari menatap ke arah Ina. Sang ayah mencoba menanyakan kemana sepatu miliknya."

Dengan menyeringai, Ina tak memberikan jawaban, hanya menunjuk nunjuk jarinya. Yang ditunjuk pun tak jelas lantaran berpindah-pindah tempat. Itu dilakukannya terus menerus sembari berlari-lari dan menggigit tangannya sendiri.

Melihat polah Ina, Mbak Yani dan suaminya kembali meraih Ina dan berusaha melepaskan gigitannya. Ia mendekap dan mengelus kepalanya untuk menenangkan dirinya. Reaksi hiperaktif itu selalu saja muncul tanpa dikendalikan.

"Sudah sih, nak!" 

"Jangan digigit tangannya, tuh berdarah lagi kan!"

Mbak Yani berusaha meraih anaknya dan mendekapnya kembali meski pakaiannya kotor karena darah keluar dari tangannya Ina. Gigitan Ina menghasilkan luka robek yang membuatnya darah mengalir perlahan.

Tak hanya tangan Ina yang penuh luka gigitan, karena badan ayah dan ibunya saja penuh dengan cakaran dan cubitan kalau Ina tengah lepas kendali. Mereka sudah terbiasa dengan keadaan itu. Mereka ikhlas menerimanya. Mereka memahami bahwa anaknya berada dalam kondisi hiperaktif.

Ia usap tangan anaknya dengan air. Ia teteskan obat merah dan memberikannya perban.

"Dagangannya gimana?

"Ntar Ayah saja yang membawa."

"ibu pegang saja anak kita."

"Sebentar, ayah mau hidupkan motor dulu."

Tak seberapa lama knalpot pun berbunyi. Suaminya berusaha memanaskan mesin supaya enak dikendarai. Sedangkan Ina masih dalam dekapan Mbak Yani.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun