[caption caption="Ilustrasi Foto yang diganti gambar unik (nyomot dari android)"][/caption]Jujur dan terus terang sejak pertama kali menginjakkan kaki di bumi pertiwi Kompasiana.com, hatiku sudah terpaut erat dan tak bisa dielakkan lagi dengan medsos bersama ini. Bukan karena aku wong ndeso yang nggumunan kalau lihat orang pada rame-rame kumpul di warung kopi? Atau heran dengan orang-orang yang berpenampilan "wah" semua. Bukan itu, pertama-tama tentu saja iseng lantaran memang aku sudah mulai suka menulis di blog. Meskipun blog "belajaran" yang isi tulisannya memang masih perlu direvisi lagi agar layak dibaca.
Bolehlah jika awalnya karena saya juga pembaca setia Kompas.com induk dari Kompasiana.com yang saat ini menjadi rumahku dan rumah bersama para kompasianer. Karena memang sebelum mengenal Kompasiana, saya sudah aktif membaca berita online ini dengan seksama. Eee tak disangka-sangka karena mataku yang liar, maka satu tulisan "kompasiana" yang setelah kubaca ternyata jumlah penulisnya sudah cukup banyak dan yang saya salut karena reaksi pembaca tulisan di dalamnya jauh melebihi reaksi pembaca Kompas.com sekalipun. Meskipun media daring tersebut adalah induknya.
Tidak menjadi persoalan siapa yang jadi induk dan siapa yang jadi telur. Yang penting kedua situs ini benar-benar saling bersinergi membangun pendidikan kepada masyarakat secara gratis. Mudah-mudahan ide pendidikan yang ditelurkan oleh induknya benar-benar dirasakan gurihnya oleh semua warga negara Indonesia. Bahkan tak hanya Warga Negara Indonesia yang saya hormati, mudah-mudahan seluruh warga bangsa di dunia menjadi member di kompasiana.com. aamiin
Tapi, ibarat memasuki dunia baru, dunia di mana lintas generasi, lintas pengetahuan, pengalaman, dan tentu saja pendidikan ternyata menjadi bumbu penyedap di dalamnya. Dan ibarat masakan pindang khas Lampung, sudah diberikan tambahan lain yang turut mengundang selera pembacanya.
Baca juga :
http://www.kompasiana.com/maliamiruddin/indonesia-surganya-iklan-judi_560012a4f77a61c82da543d9
Â
Meskipun dalam perjalanan dan lika-liku berkompasiana penuh dengan ujian, ternyata sampai sejauh ini saya berusaha untuk memajang nama asli M. Ali Amiruddin. Karena itulah nama saya satu-satunya. Karena sejak lahir orang tuaku sudah memberikan nama yang indah itu untuk ku gunakan sebagai bagian hidup bersosialisasi. Saya berusaha untuk tidak mengganti nama dengan istilah "Bung Alay, Ali Toples Kue Lebaran, Ali Keren Selalu, atau nama-nama "palsu" yang justru mengundang nyinyir orang-orang yang tak sepaham dengan saya. Saya sendiri ketika membaca nama akun di medsos dipalsu kog kayakknya ikut neg sendiri. Misalnya Si Inem Celalu Cetya Campai Matek, Mbah Gondrong Celalu Jutex, bukannya lucu tapi bikin mules membacanya.
Terlepas karena saya berusaha untuk apa adanya dengan profil, nama dan foto yang dipajang. Saya berusaha membuktikan bahwa saya memang manusia biasa. Bukan demit apalagi genderuwo. Bukan tuyul yang mau maling isi dompet tetangga. Dan saya berusaha untuk welcome terhadap ide, saran dan sanggahan yang disarankan kepada saya terkait tulisan-tulisan yang saya publis. Jika di antara tulisan itu yang "nggak bener" maka saya bersedia memperbaiki dan meminta maaf jika ada pihak-pihak yang dirugikan.
Saya juga tidak berusaha menjadi "wong elit" lantaran saya memang masih "kere" yang tinggal di kampung. Dengan kehidupan yang ala kadarnya. Jadi amat wajar gaya hidup juga biasa-biasa saja asal tidak "nggilani" saja sudah alhamdulillah. Boleh jadi dengan gaya saya yang apa adanya ini memunculkan ide-ide menulis yang juga apa adanya. Gak perlu bombastis apalagi berbohong lantaran justru mengundang pro dan kontra yang tak perlu.
Belajar dari kasus Pakde Kartono, jika Pakde Kartono meniru gaya saya yang apa adanya, tentu Pakde Kartono tidak akan terjerat kasus fitnah dan opini yang justru memperkeruh suasana di rumah Kompasiana.