Jika kebijakan untuk rakyat miskin ternyata bermodalkan sama rasa, tentu efeknya kurang baik. Masyarakat yang sejatinya sudah harus menolak beras bantuan ini ternyata masih saja merasa berhak menerima. Mereka tak berpikir bahwa ada yang lebih membutuhkan bahan pangan pokok ini dibandingkan dirinya yang sudah mampu.
Tekanan publik yang "haus" akan beras bantuan juga menjadi pemicu kenapa kebijakan beras raskin ini tidak juga tepat sasaran.
Ketiga, BPS selaku basis data pokok terkait data kependudukan dan ekonomi masyarakat juga sampai saat ini masih jauh panggang dari api. Ada ketidak singkronan antara data yang dikeluarkan dengan fakta di lapangan. Sehingga dampaknya alokasi pengeluaran beras yang diajukan kepada pemerintah pun masih memerlukan evaluasi lagi yang lebih menyeluruh.
Jika stake holder terkait kebijakan beras raskin ternyata masih mengeluarkan data-data yang "kurang" valid, semestinya ditinjau ulang dan dilakukan editing agar permintaan kebutuhan akan beras bagi warga kurang mampu ini tidak tepat sasaran.
Karena sejalan dengan tujuan dari beras raskin adalah mengurangi beban pengeluaran Rumah Tangga Sasaran melalui pemenuhan sebagian kebutuhan pangan beras. Sehingga data per tahun 2015 ini sejumlah 5.530.897 RTS benar-benar akurat. Dan tidak ada lagi masyarakat yang tidak layak menerima dengan mudahnya menerima beras ini dengan melupakan hak-hak kaum miskin lainnya.
Dampaknya, jika data pengeluaran 15 kg tiap bulan untuk RTS yang menjadi sasaran beras miskin ini benar-benar valid, maka akan banyak program pemerintah yang bisa dibantu dan mendapatkan alokasi dana yang lebih penting daripada memenuhi kebutuhan masyarakat yang sebenarnya mampu secara finansial tapi tetap saja merasa miskin.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H