Pagi itu, si Butut, aku memanggilnya buat sepedaku yang sudah terlalu tua dan berkarat. Jadi amat pantas jika aku panggil si Butut. Boleh jadi lebih bagus sepedanya Pak Bain si Kompasianer itu, Sepeda onthelnya saat ini lebih berharga dibandingkan sepeda bututku. Sepeda butut yang dibeli dari loakan dengan harga 100 rb kala itu. Demi untuk menikmati perjalanan panjang tanpa menginjakkan kaki di tanah. Bertahun tahun si Butut menemaniku, entah ke kebun, nyari rumput, ke warung, ke sekolah bahkan menemaniku ke perguruan tinggi. Tak kan ada sosok yang memiliki kekasih yang setia dimanapun berada. Apalagi seperti para istri saat ini, maunya hanya pergi ke tempat-tempat yang enak saja. Emoh kalau harus rela kehujanan dan berbelepotan lumpur dari sawah. Hebatnya aku, meski bukan seorang ternama, si Butut selalu setia. Entah pagi, siang atau malam tak pernah merengek ingin dibelikan bakso lantaran ia memang hanyalah sepeda. Tak merengek dibelikan jaket tebal meskipun malam-malam dingin menyelimuti kulit tipis ini. Si Butut uniknya dirimu. Kita mau kemana lagi bos? Tiba-tiba si Butut bertanya padaku. Padahal ia tak pernah bertanya terkait apa yang akan saya lakukan. Eleh, biasa aja kog, Tut. Aku panggil Tut saja biar enak diucapkan. Kog saya dipanggil Tut? Kog nggak Inem saja? Si Butut protes karena namanya mirip mantan saya sewaktu SMA dulu. Emang kenapa, Tut, kog kamu protes? Itukan nama mantan Bos yang dulu sewaktu sekolah di SMA. Lah kalau dipanggil Inem, nanti kamu dikira pelayan seksi. Kan rupamu jelek, udah item karatan lagi. Loh? Kenapa malah ngenyek begitu, Bos? Sergah si Butut tanda tak nyaman dengan ejekanku. Bukannya ngenyek, body kamu memang tak cantik lagi, jadi nggak pantes jika dibandingkan dengan si Inem pelayan seksi itu.Meskipun kamu juga seksi sih, kayak si Inem dari Kidol Kali. Hehehe. Aku emoh merendahkan si Butut lagi, takut ia ngambek, bakalan berabe urusan. Ya udah, aku mau mandi dulu, Kan badanmu sudah tak mandiin, jadi gantian aku ya? Pintaku Okelah Bos, Saya manut saja. Jawab si Butut. Eeee, sebentar, tadi kamu bilang kalau si Tut itu mantanku sewaktu SMA? Emang dapat info darimana, Tut? Oalah Bos, Dulu Bos pernah bilang kalau pacar pak Bos namanya Tut.... Si Butut sengaja memancing ingatanku pada seorang gadis mungil yang cantik yang pernah membuat aku tergoda. Ya sudahlah, gak usah dibahas lagi, nanti saya jadi kangen lagi sama dia. Kataku, menutup pembicaraanku dengan si Butut, sambil menuju ke kamar mandi. Tak seberapa lama, aku sudah menyelesaikan proses bersih-bersih badan, dan sudah berpakaian rapih ala pejabat. Membawa tas cangklongan, berisi buku-buku lusuh aku pergi kuliah ditemani si Butut yang setia menemaniku meski hujan deras menerpaku. Wah, Bos, Kelihatan ganteng hari ini. Butut menggodaku. Kamu itu, kan emang sejak zaman azali Bosmu ini memang ganteng kan? Ejekku. Iya iya Bos. Aku tahu kalau Bos memang ganteng kayak sekuteng. Item-item njeliteng. Si Butut balik mengejekku Sudah, gak usah mengejekku, waktunya go es, to university. Aku segera menggowes sepedaku menuju sekolah tinggi yang aku cintai. Di perjalanan, si Butut, gak henti-hentinya menanyakan kendaraan yang melintasi kami. Entah bertanya enaknya kalau masuk dan naik di dalamnya, bertanya berapa harganya, dan bertanya seandainya aku bisa memilikiinya alangkah banyak cewek aduhai yang melirik wajah yang ganteng ini. Tapi lagi-lagi Si Butut nggak sadar, bahwa Bosnya nggak mudah tergoda dengan yang begituan. Mau mobil mewah, motor keren, atau cewek aduhai. Dia nggak sadar bahwa Aku memang gak begitu peduli dengan hal yang demikian. Semua memang tampak menarik, tapi bagi yang berduit. Lah, kalau Aku ya cuman menghayal wae lah. Tak disangka aku tiba diperempatan lampu merah. Karena si Butut berlari sangat kencang, aku tak sadar bahwa si Butut melanggar lampu merah. Polisi pun memaki-makiku karena aku main terobos. Beruntung aku nggak ditangkap dan dijebloskan ke tahanan karena membuat orang lain celaka. Syukur syukur, polisinya lumayan kasihan, melihat penampilan Si Butut yang cukup memprihatinkan. Mungkin itu yang membuat polisi itu tak tega mau menangkapku. Apalagi sampai menilang, 'kan gak mungkin lah wong Si Butut hanya sepeda butut yang jelas kantor polisi menolak mentah-mentah. Ogah jadi tempat parkir sepeda bututku. Jangan-jangan malah dianggap rongsokan dan mengganggu pemandangan. Untung saja, tampangmu Jelek ya, Tut? Sambil menepuk punggungnya aku kembali meneruskan perjalananku. Meski hati ini agak ketakutan, lantaran kepergok pak Polisi menerobos lampu merah. Itulah Bos, Seharusnya Bos bersyukur, aku masih setia menemani kemanapun juga. Saking setianya, aku nurut saja meski menerabas lampu merah. Dalam hati aku mengiyakan kata-kata si Butut. Bener apa yang dikatakannya bahwa yang Aku anggap jelek nyatanya memberikan keberuntungan. Coba kalau yang kunaiki kendaraan bermotor, pastilah ditilang atau justru saya ditahan lantaran melanggar rambu-rambu lalu lintas. Hari demi hari, Aku dan si Butut selalu berdua, tak peduli hujan panas menghadang. Pantang mundur meski Polisi menghadang. Ibarat dua sejoli yang selalu seiya sekata. Sehidup semati seperti Romi dan Yuli. Atau Rama dan Sinta. .................. Bersambung Gambar : victoriahuqomarxist.blogspot.com MAA. Metro, 19/04/2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H