Ayam kampus, kata serapan dari ayam dan kampus digabung jadi ayam kampus. Apa maksudnya ayam yang tinggal dan tiduran di dalam kampus atau apa? hehehe.Â
Enak bener ya kita sering menjadikan sesuatu yang sebenarnya keji dan hina karena diplesetin jadilah bahasa yang lebih indah dan santun bahkan menjadi imut atau lucu.Â
Bagaimana tidak lucu, bagi yang tidak tahu makna sebenarnya dari "ayam kampus" paling cuma manggut-manggut, dikira ayam yang lucu dan unik dan jadi idola karena warnanya yang menawan dan suaranya yang merdu. Jadi wajar saja kalau ayam itu dipelihara di dalam kampus.Â
Tapi, eit jangan salah, kalau frase dari ayam kampus maknanya mahasiswa yang melacurkan diri di dalam kampus. Hii ngeri bukan? Jika Anda baru paham tentang kata ini tentu saja akan tersentak kaget bisa-bisa air di mulut langsung menyembur keluar.Â
Kata ayam kampus bisa dibilang majas karena menyamarkan makna sebenarnya bisa juga sebuah amelioratif yang tujuannya memperindah maksudnya. Jadinya perubaha semantik, bentuknya bisa amelioratif atau peyoratif tapi yang jelas panggilan "ayam kampus" bisa dibilang membaguskan kontek sebenarnya.Â
Kalau melihat kondisi sekarang, di mana terlalu dihargainya sesuatu yang rendah (hina) karena memperhalus maknanya seringkali justru membuat seseorang menganggap sesuatu yang diperhalus itu menjadi amat baik atau biasa saja karena proses perubahan kata yang sebenarnya. Seperti halnya pelacur menjadi pekerja sex, pencuri uang rakyat menjadi koruptor. Kenapa nggak dibilang maling ya? Gelandangan menjadi tuna wisma, dan lain sebagainya yang maksudnya untuk memperhalus pengucapannya. Jadi mengurangi kesan "serem" lantaran bersinggungan dengan masalah sosial.Â
Fenomena memperhalus kata yang awalnya terbilang keji dan menjijikkan menjadi sedikit biasa saja atau bahkan amat mulia lantaran proses penggunaan kata lain yang tentu saja berefek stigma masyarakat yang membacanya. Bisa jadi yang pada mulanya memang pekerjaan itu sangat rendah di mata masyarakat karena tidak bermoral tapi karena sudah ada pengalihan kata-kata (alias) menjadi baik-baik saja.
Ayam kampus, seperti yang telah ditulis salah satu kompasianer, sejatinya sudah ada sejak lama, bukan bermaksud menjustifikasi, universitas-universitas di Indonesia menyimpan para pelacur-pelacur mahasiswa "maaf sedikit vulgar" karena alasan mencari pesangon kuliah. Tapi apa iya hanya faktor kemiskinan dan ketidak mampuan membiayai kuliahnya? Semestinya sih tidak. Alasannya, siapa saja yang sanggup kuliah di perguruan tinggi ternama pastilah mereka cerdas dan bermodal, paling tidak mereka sudah siap-siap menanggung biaya yang tidak sedikit. Dan itu sudah diperhitungkan jauh-jauh hari.Â
Kalau mahasiswanya super cerdas tentu saja mereka mendapatkan beasiswa hingga selesai, tapi jika mereka pas-pasan kayaknya juga tidak dapat diterima loh di universitas negeri ternama. Karena biaya kuliahnya tidak sedikit karena uang daftar ulang bisa sampai puluhan juta rupiah bahkan bisa sampai ratusan juta. Lalu, apa sih hakekatnya yang mendorong para "ayam kampus" ini bernafsu menjadi "ayam potong beneran", lantaran mereka rela menyerahkan keperawanan kepada bos-bos dan om-om karena ingin mendapatkan uang lebih sehingga bisa memanjakan diri di hotel-hotel  mahal dan tentu saja apartemen mewah yang jadi tempat tinggalnya. Bahkan sampai-sampai mereka rela "menjual"bunganya kepada para dosennya lantaran ingin mendapatkan nilai A dan lulus dengan predikat cumlaude?Â
Sepertinya persoalannya karena tidak ada lagi harga diri dan tentu saja menganggap keperawanan itu sangat murah dan dapat ditukar dengan segepok uang.Â
Fenomena ini sepatutnya tidak dapat dianggap sesederhana dalam penyebutan kata "ayam kampus". Disebabkan siapa saja yang jadi "ayam kampus" rata-rata kehidupan mereka lebih perlente, mewah dan tentu saja bawaannya mobil yang tidak murah untuk ukuran mahasiswa. Sehingga amat naif mereka mengatakan bahwa ketika mereka melacurkan diri menjadi ayam kampus hanya karena butuh duit untuk kuliah. Nggak masuk akal kan?Â