Beberapa hari ini Indonesia digeber dengan Indonesia Darurat Bencana. Di stasiun televisi, media online dan media cetak pun tak kalah sibuknya membicarakan bencana yang saat ini tengah memberangus ketenangan masyarakat Indonesia.
Sebuah bencana yang sejatinya tidak datang secara tiba-tiba. Akan tetapi, semua berawal dari perilaku dan sikap "licik" penghuni negeri ini yang tidak mau jujur pada hati nuraninya.
Saya jadi teringat dengan percakapan saya dengan salah satu murid saya, Pak di mana-mana kog banjir ya pak? dengan bahasa anak-anak dengan kelemahan intelegensi. Saya katakan "mungkin alam ini sudah murka nak. Tuhan sudah memberikan semua yang mereka minta. Kesulitan tatkala mereka melupakan kemudahan yang telah diberikan Tuhan pada makhluknya.
Nak, jangan pernah "meliciki" Tuhan ya? karena Tuhan itu maha tahu bahwa hambanya telah berbuat curang pada alam ini tak hanya pada makhluk yang tak bernyawa, terhadap manusia lainnya pun tak henti-hentinya manusia berbuat curang.
Bagaimana bisa disebut licik? karena ketika alam Indonesia diberikan Tuhan Yang Maha Kaya ternyata harus dirusak oleh penguninya. Dengan pongahnya mereka mengeksploitasi kekayaan negeri ini tanpa pernah berfikir bahwa alam pun bisa "marah" kepada penghuninya.
Bencana yang bisa dikategorikan kemurkaan alam tatkala dirinya telah dieksploitasi tanpa mempertimbangkan kelestariannya. Katanya melakukan eksplorasi tapi justru memutus mata rantai ekosistem di dalamnya. Bumi dikeruk, minyaknya dihisap hingga sisa-sisanya, hutan dirusak demi sebuah kepuasan materi dan yang lebih parah lagi manusianya pun mengeksploitasi manusia lainnya. Seorang penguasa memanfaatkan rakyatnya untuk mencari kekayaan pribadi, seorang pengusaha harus mengeksploitasi pekerjanya demi keuntungan materi yang tak sedikit.
Bencana gunung Sinabung di Medan, Banjir di Manado dan Jakarta mungkin sedikit dari murka alam terhadap manusia. Meskipun boleh saja kita melupakan Tuhan dengan mengatakan ini adalah proses siklus alam yang sudah biasa. Tapi jika kita amati lebih mendalam semua perubahan iklim sejatinya adalah ulah manusia sendiri yang tamak dalam mengeksploitasi dan merusak alam.
Eksploitasi tak hanya dilakukan oleh pengusaha kaya, masyarakat kecil pun sudah mulai melakukan pengrusakan dengan meracuni sungai-sungai, membabat hutan, melakukan penambangan pasir secara masif yang tentunya menjadi penyebab awal dari kerusakan alam secara sistematis.
Tak kalah seramnya tatkala masyarakat sendiri telah merusak keindahan alamnya dengan prilaku yang sama sekali tidak bertanggung jawab. Hutan dibakar demi membuka lahan perkebunan, sungai dicemari dengan sampah dan limbah pabrik demi sebuah industrialisasi. Dan yang lebih parah lagi mereka membiarkan rakyat miskin terusir dari tanahnya dan dijual pada para pemilik dolar demi sebuah usaha yang menguntungkan.
Di antara gedung-gedung bertingkat, di bawahnya para pengemis tengah meronta karena sulitnya mencari penghasilan, para penghuninya saling menghujat dan mengutuk padahal kutukannya justru membuat alam ini semakin pekak oleh sumpah serapah yang muncul dari lisan-lisan penghuninya.
Para politisinya pun tak kalah hebatnya dengan "bualan-bualan kosong" mengelabui rakyatnya dengan amat bangganya. Dan sederetan sebab musabab yang menjadikan alam ini murka kepada manusia yang hakekatnya hanya menumpang singgah di bumi ini.