Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Masih Tentang TKI, Kami Tak Ingin Mendengar (lagi) TKI (siap) dipancung

1 April 2014   20:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:13 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kami Tak Ingin Mendengar TKI (akan)  Dipancung

Jika mengingat sebuah lagu dari penyanyir Rock Inggris, Rod Stewart dengan judul I don't want to talk about it (Aku tak ingin membicakan itu lagi), sepertinya mewakili perasaan saya selaku bagian bangsa Indonesia, dan juga sebagian besar masyarakat Indonesia yang peduli dengan nasib para TKI di tanah perantauan. Sudah tak sepatutnya membicarakan dan mendengarkan kerumitan kasus TKI yang sepertinya tak pernah usai.

Kenapa saya katakan sebagian besar masyarakat Indonesia? Karena ada di antara mereka sesama saudara yang tak berempati dan memberikan dukungan yang patut kepada si pesakitan. Justru malah mencela dengan habis-habisan kejadian yang menimpa Satinah, sosok PRT yang "mungkin" harus meregang nyawa di tempat pancungan. Sesuatu yang membuat miris.

Saya (kami) tak ingin mendengar tentang itu lagi, tentang hukum pancung yang mengerikan, tentang hukum denda (diyat) yang tak ketulungan mahalnya demi menebus sebuah nyawa manusia.

Meskipun tebusan itu teramat mahal, memang tak akan menggantikan betapa berharganya nyawa manusia. Entah siapapun juga tak kan mau nyawa kita ditukar dengan real, atau seisi dunia pun tak kan dapat menggantikan harga sebuah nyawa.

Keluarga korban pun kita yakini akan menanggung derita yang juga akan teringat sampai akhir hidup mereka, karena telah kehilangan salah satu anggota keluarga mereka. Dan andaikan hukuman pancung itu benar-benar terjadi tidak hanya pada Satinah maupun pekerja Indonesia lain yang saat ini bekerja di perantuan, sepatutnya menjadi pelajaran berharga bahwa siapapun juga mesti belajar dari sebuah peristiwa "kelam". Buntut dari sebuah kekerasan yang berakhir pada ketidak pedulian pada harkat dan martabat manusia.

Saya sangat mengapresiasi kerajaan Arab Saudi yang sampai saat inipun banyak tenaga kerja Indonesia yang masih bekerja di negara tersebut. Dan tentu saja apresiasi ini teruntuk pada keluarga majikan yang memiliki hati nurani untuk tidak menghina, melecehkan atau menyakiti asisten rumah tangga mereka. Karena hanya yang memiliki hati nurani sajalah sejatinya kekerasan, penganiayaan, pemerkosaan dan sederet kekerasan yang tidak akan dilakukan warga Arab Saudi. Teruntuk sang majikan yang memperkerjakan para TKI ini demi membantu meringankan beban kerja mereka.

Sebuah simbiosis mutualisme hakekatnya, tatkala sang majikan dan pekerja sama-sama saling menjaga dan melindungi satu sama lain. Pekerja bekerja dengan segenap kemampuan dan tekat untuk memperoleh prestasi atas pekerjaannya itu dengan gaji yang akan dibawa pulang ke tanah air. Dan majikan akan mendapatkan upah kerja keras berupa hasil kerja dan prestasi yang ditorehkan para pekerja ini di rumah mereka.

Majikan tetaplah majikan yang harus dihormati karena merekalah yang membayar para pekerja rumah tangga ini, namun PRT atau asisten rumah tanggapun adalah manusia biasa yang tidak sama dengan boneka yang diperlakukan secara tidak manusiawi. Para pekerja ini sepatutnya dihargai sebagai manusia terhormat karena telah membantu majikannya. Jangankan manusia anjingpun sepantasnya dicintai dan disayangi karena telah membantu majikannya dalam menjaga tuannya yang netra, menunjukkan jalan kemanapun jua tuannya akan melangkah. Apalagi manusia yang sepatutnya harga dirinya melebihi hargadiri si Anjing yang hanya seekor hewan.

Kasus-kasus yang dialami para pekerja kita, sepatutnya menjadi PR dan menjadi pembicaraan penting dalam rapat-rapat legslatif maupun eksekutif dan juga sepatutnya menjadi bagian penting dari pembicaraan negara-negara dunia. Karena keberadaan para pekerja ini tak dapat dianggap remeh karena keberadaannya sangat dibutuhkan. Dan para pekerja ini tak patut pula dipandang hina karena kebodohan dan kelemahannya karena keterpaksaan mereka harus menjadi TKI di negeri orang.

Mengutip bait lagu Rod Stewart tersebut:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun