Sebagai warga biasa memahami kata-kata sulit dimengerti sepertinya sudah menjadi kebiasaan, karena acapkali membaca sebuah tulisan yang bahasanya tinggi-tinggi sekali. Kadang mau bertanya lewat komentar kog yo kebangetan. Apa di rumah gak ada kamus? atau gak pernah searching di rumahnya mbah google? Karena sejauh ini ada status-status yang bermunculan di dunia maya baik di fb, tw, dan media sosial lainnya dengan menggunakan genre asing. Kalau statusnya cas cis cus wes ewes pastilah pembuat status orng yang berpendidikan tinggi dan terlihat lebih mentereng.
Walaupun yang make ke barat-baratan itu belum tentu benar-benar paham dengan dialek bahasa tersebut. Seperti saya sendiri yang selalu saja memakai mesin terjemahan untuk mengartikan status dari teman yang kebetulan bergaya kebarat-baratan. Meskipun awalnya terkesima tapi lama-lama terlihat juntrungnya ternyata teman saya tersebut bekerja di luar negeri menjadi pekerja lapangan di kebun sawit. Sontak saja saya langsung garuk-garuk kepala oo ternyata bukan manajer toh? tapi gaya bahasa sudah keren-keren? Keren juga sih tapi ternyata memakai mesin penterjemah. Ya nggak apa-apa log mas, kog sewot amat sih?
Dan benar, penggunaan bahasa lain atau idiom yang tidak klop tapi dicocok-cocokin memang saat ini sudah membudaya. Main comot sana-sini dari kamus, bahasa tersebut menjadi penuh warna. Meski ada manfaatnya juga karena dengan memakai banyak istilah, si pembaca jadi tambah pusing. Kalau sudah pusing lalu mriyang. hehe
Tapi apakah penggunaan sebuah idiom atau bahasa lain memang diperbolehkan? Kayaknya sih terserah penggunanya asalkan tidak asal-asalan. Mungkin karena rasa kecewa, seseorang menulis idiom atau istilah dengan bahasa yang amat tak pantas. Pernah sih saya mendengar orang yang lagi marah berbicaranya suka tak memakai aturan. Bahasa kasarnya "asal njeplak". Contoh karena Bejo lagi marah sama Bandu, ketika Bejo ditanya dimanakah si Bandu, Bejo menjawab "Bandu isek mbadok". Awalnya memang terlihat aneh dengan kata-kata asing ini. Tapi setelah tanya sana-sini mbadok itu artinya lagi makan. Istilah lain yang sangat kasar dan tak patut digunakan.
Ada istilah lain yang sepatutnya tidak pantas digunakan dalam bahasa pers adalah kata "disunat" menurut istilah umumnya disunat adalah dipotong sebagian kecil. Karena disunat itu identik dengan acara pemotongan sebagian kulit penutup mr. P, dengan tujuan menghilangkan bagian yang menutup bagian laki-laki tersebut agar dapat menghilangkan najis. Selain karena ingin menghilangkan penyebab terhalangnya dibersihkannya najis karena sunat (khitan) itu kewajiban bagi umat Islam. Bahkan tidak hanya bagi pria, karena wanitapun hendaknya dikhitan sebagai bagian dari aturan agama Islam.
Terlepas apa yang dimaksud dengan sunat, tapi akhir-akhir ini banyak penulis dan insan pers yang menggunakan istilah "disunat" untuk menyampaikan persoalan korupsi. Yakni kasus diambilnya sebagian atau keseluruhan anggaran negara demi kepentingan pribadi. Jika kata disunat disandingkan dengan korupsi, maka konotasinya uang yang diambil oleh pelaku (koruptor) amat sedikit dan justru bermanfaat untuk menghilangkan kemudharatannya. Bahkan tidak hanya menghilangkan kemudharatan, tapi lebih dari itu diwajiban oleh semua umat Islam.
Jika sebuah korupsi dalam tanda kutip menggunakan istilah disunat, maka dampaknya prilaku korupsi seperti sebuah kepatutan. Andaikan dibilang kejahatan berarti bukan masuk dalam ranah extraordinary crime. Tentu saja karena justru dianggap bermanfaat. Dianggap bahwa korupsi itu adalah perbuatan yang baik karena menghilangkan keburukan di dalam anggaran proyek tersebut. Nah, jika korupsi saja dilogikakan dengan perbuatan yang justru amat baik bahkan wajib maka akan sangat wajar jika prilaku ini menjadi booming dan menggurita di dalam masyarakat. Tidak hanya kalangan pejabat, para kulipun hakekatnya menganggap korupsi sebatas "menyunat" atau membuang sebagian kecil uang negara. Bahkan dianggap berpahala.
Boleh jadi adanya kasus korupsi yang menimpa beberapa tokoh publik, politisi bahkan tokoh agama pun sejatinya karena pemaknaan kasus besar ini dengan istilah yang remeh. Bagaimana kasus korupsi sudah menjerat Hadi Purnomo, bahkan akhir-akhir ini menteri agama Surya Dharma Ali pun turut dijerat dan diduga melakukan korupsi penyelenggaraan ibadah haji, kepala sekolah dan guru-guru pun tak luput melakukan korupsi meskipun sebatas korupsi waktu. Itu semua merupakan imbas dari diremehkannya persoalan kejahatan ini. Boleh jadi karena penggunaan kata-kata "disunat atau menyunat"dianggap sebagai kata-kata sederhana yang boleh digunakan semaunya meski ditempat yang tidak tepat. Padalah sepatutnya korupsi tersebut jangan hanya disunat, tapi dirampok karena skalanya lebih besar. Seperti kalimat "para koruptor itu merampok uang negara".
Merampok uang negara hakekatnya kejahatan yang lebih besar, dampaknya tidak hanya skala kecil uang saja yang diambil, tapi ribuan bahkan jutaan nyawa penghuni negeri ini ikut dikorbankan. Uang yang sepatuanya untuk menyejahterakan bangsa ini, harus dikorupsi dan digunakan untuk kepentingan pribadi.
Sebuah kejahatan yang terorganisir dan sistematis yang dilakukan untuk "memiskinkan dan membunuh" negara ini serta generasi penerusnya secara perlahan.
Salam