media.kompasiana.com
Tadi malam, para pemburu berita sepertinya akan bertahan dan merelakan saat-saat tidur mereka harus terganggu demi rekapitulasi nasional Pilpres 2014. Tidak hanya kalangan politisi, saya yang awam pun tak ingin kehilangan moment bersejarah proses demokrasi di Indonesia. Karena proses inilah proses yang paling rentan dan riskan terjadinya konflik jika memberikan kesan yang tidak akurat dan spesifik. Meskipun kekhawatiran saya sedikit hilang, manakala saya menyaksikan para anggota Bawaslu Propinsi (khususnya Sulawesi Tenggara) menjelaskan secara mendetil terkait jumlah pemilih di daerahnya. Keputusan akhir setelah diperoleh sebanyak 18 provinsi ternyata Jokowi-JK unggul dari Prabowo Subianto-HR.
Selain semakin mendekatinya perolehan suara secara keseluruhan dan menanti beberapa propinsi yang diharuskan melakukan pemungutan suara ulang, yang pasti sudah semakin kentara siapa sebenarnya yang akan melangkah menuju istana. Namun demikian, proses demokrasi hakekatnya bukan semata-mata "kemenangan" dan "rasa sakit" karena kekalahan. Akan tetapi belajar menjadi sosok yang menerima kemenangan orang lain karena menganggap pemenanangnnya melebihi apa yang telah dimilikinya saat ini. Misalnya memiliki kelebihan pengaruh, kedekatan dengan rakyat dan kepopulerannya. Sedangkan kecerdasan dan ketampanan saya yakin semua orang akan memaklumi tidak ada yang sempurna.
Namun demikian, bagaimanapun kondisi capres-cawapres yang telah mendapatkan kemenangan, berarti rakyat Indonesia secara umum harus merestui presiden dan wakil presiden terpilih dan kemudian menghormati dan menghargai keputusan yang sudah final tersebut.
Terlepas semakin jelasnya siapa yg akan menduduki kursi presiden dan cawapres -dengan melihat perolehan suara secara nasional-ada yang masih menyisakan tanda tanya besar di kalangan birokrat dan politisi kita. Apakah kita semua bisa menerima kekalahan dan kembali bertegur sapa? Dan apakah kita akan selalu mengingat moment bersejarah demokrasi kita dengan jabatan tangan dan senyum sumringah? Jawabannya tentu ada pada masing-masing personal.
Saya tidak bisa menilai secara sepihak, apakah di antara kita masih menyimpan rasa sakit hati karena calon yang kita usung tidak mendapatkan kepercayaan dari rakyat atau menerima dengan ikhlas. Jika kita menganggap kekalahan tersebut sebagai ketidak terimaan rakyat Indonesia terhadap sosok yang kita usung tentu saja kita akan mempertimbangkan suara-suara lain di luar sana yang tidak seide dengan kita. Kita dengan legowo dan ikhas menerima dengan lapang dada bahwa ternyata salah satu calon tersebut lebih layak dan lebih pantas mewakili aspirasi 250 juta penduduk Indonesia. Jika kita semua menyadari akan hal ini, maka tidak ada kata lain kita akan kembali berjabat tangan dan saling merangkul serta menjalin persaudaraan dan persahabatan seperti halnya sebelum pilpres 2014 ini dihelat.
Tidak juga saya, saya yakin penulis di kompasiana pun saat ini masih terikat pada friksi2 atau kelompok2 tertentu yang saling berseberangan dan masih merasakan rasa kecewa karena suatu saat sosok yang diidolakan mengalami kekalahan. Tapi tidaklah kita menjadi bahagia dan mendapatkan kedamaian tatkala kita masih sulit menerima kemenangan.
Ketika saya baru saja mengenal Kompasiana, seakan-akan sekat-sekat (gap) masing-masing member seperti tidak nampak. Entah saya rasakan semua terlihat indah. Meskipun di dalamnya berisi bermacam-macam agama dan keyakinan serta pandangan politik, semua bisa saling menyapa. Bahkan karena kedekatan para kompasianer mereka selalu bersepakat untuk kumpul bersama dalam acara nangkring yang diadakan oleh manajemen. Begitupula dalam setiap komentar mereka selalu menyisipkan kata "salaman, es jeruk, es teh, salam damai, salam kompasiana, dan ucapan2 senada yang menyiratkan kedekatan para kompasianer.
Namun, seiring perjalanan waktu, setelah ajang pilpres bergulir, semua seakan-akna menjadi hampa, asing dan seperti tak bernyawa. Senyum tak lagi menawan, tawa tak lagi renyah, yang ada kepentingan2 politik yang membelit rasa kemanusiaan dan persaudaraan sejati yang "ingin" dibangun kompasianer dan kompasiana tentunya.
Indahnya persaudaraan sejatinya tak harus diakhiri seperti ini, jangan karena Pilpres semua menjadi duka dan rasa kecewa dan putusnya tali silaturrahmi.