Melihat berita akhir-akhir ini cukup menarik dan menegangkan juga. Paling tidak bagi masyarakat pinggiran urusan politik pun masih layak untuk diikuti. Meskipun wilayah konfliknya tidak bersinggungan, lantaran yang sedang bersitegang adalah Wagub DKI Jakarta, yang kebetulan saat ini sebagai plt Gubernur DKI Jakarta setelah Jokowi resmi menjadi Presiden, ialah Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok. Dengan percaya diri sang wagub rela jika harus angkat kaki dari partai yang dahulu mendukungnya menjadi orang nomor 2 di ibukota. Sikap frontal Ahok diawali oleh sikap Partai Gerindra yang mendukung Koalisi Merah Putih untuk meloloskan Rancangan Undang-undang Pilkada (RUU Pilkada), partai-partai yang dahulu mengusung Pak Prabowo ini menghendaki sistem pemilihan kepala daerah (PILKADA) diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme dewan. Dalam hal ini melakukan pemilihan diwakili oleh para anggota legislatif di gedung dewan terhormat. Mereka merasa rakyat tak perlu lagi memilih calon kepala daerahnya secara langsung tapi diwakilkan oleh wakil-wakil mereka di Gedung DPRD. Meskipun aksi Ahok cukup merepotkan partai Gerindra, tapi dengan percaya diri, pengurus partai yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih menganggap bahwa Ahok bukan apa-apa jika melihat kader-kader lain di partai tersebut. Padahal kehilangan sosok Ahok, Gerindra sudah kehilangan simbol keberanian seorang kader mereka. Karena karakter yang ceplas-ceplos serta berani inilah Kebijakan Jokowi dapat dilaksanakan dengan efektif karena dukungan beliau. Melihat sepak terjang Ahok, hakekatnya sedikit banyak mata publik dibuat lebih terbuka, meskipun ada pula yang menganggap bahwa sikap Ahok dengan keluar dari Gerindra dianggap mencari sensasi, tapi hal ini menunjukkan bahwa Ahok menjaga sikap dan membuktikan bahwa tidak semua kader partai tunduk dan patuh pada kebijakan partai yang tak sejalan dengan hati nurani sekaligus kepentingan rakyat. Benarkah Ahok keliru karena telah keluar dari Gerindra? Menurut kacamata awam atau boleh jadi kacamata politisi, keluarnya Ahok justru merupakan sikap ksatria, beliau menghormati kebijakan Partai yang mengusungnya jika partai benar-benar menghendaki demokrasi dijalankan sepenuhnya atas partisipasi rakyat. Dan tentu saja sebuah kredit point, beliau telah menunjukkan sikap bahwa ia benar-benar ingin menjunjung hak-hak rakyat dalam menentukan siapa yang harus memimpinnya di daerah. Bukan dipimpin oleh orang-orang yang notabene kental dengan politik bagi-bagi uang terkait hajat demokrasi. Memang benar, alasan bahwa telah berbuat makar karena telah melawan Gerindra, tapi jika sikapnya justru sebagai pembuktian ia ingin demokrasi benar-benar dari bawah, berarti beliau lebih mendahulukan kepentingan rakyat daripada Partai. Meskipun risikonya beliau harus bisa berberes-beres dari partai yang dahulu mendukungnya. Ahok meyakini bahwa kemenangannya dan mengantarkannya menuju kursi Wagub DKI Jakarta bukan semata-mata partai Gerindra, tapi benar-benar berasal dari dukungan seluruh lapisan masyarakat, dan kebetulan bersama-sama dengan Jokowi. Sehingga dengan keluarnya dari Gerindra justru akan memudahkan Ahok menapakkan kakinya kembali dalam sebuah partai yang lebih menghormati suara rakyat daripada suara wakil rakyat yang kadang tidak mewakili suara-suara arus bawah. Pilkada Tak Langsung, Mewarisi Rezim Orde Baru Pilkada Tak Langsung sebagaimana digembar-gemborkan dan menjadi silang pendapat partai-partai di DPR, tentu saja menjadi citra buruk dan flash back ke masa silam, di mana rakyat justru hanya menjadi batu pancatan dari ambisi-ambisi busuk dari anggota legislatif. Secara kasat mata sudah jelas bahwa ketika mekanisme Pilkada diserahkan kepada anggota dewan, tentu suara rakyat akan tergadai bahkan dimentahkan karena ambisi Partai dan tentu saja ambisi para anggota legislatif. Suara rakyat seringkali tidak dipahami oleh wakil rakyat karena terikat kontrak kepentingan partai yang mengusungnya. Seorang Gubernur misalnya akan menjadi eksekutif yang dikebiri dan dipasung oleh kepentingan anggota dewan atau partainya. Dampaknya akan banyak kebijakan Gubernur yang justru menguntungkan anggota legislatif tapi merugikan kepentingan rakyat. Tidak hanya mengebiri hak-hak rakyat atas demokrasi, para anggota legislatif secara sistematis berusaha menggiring sistem politik ke arah sistem ordebaru. Dimana mereka seolah-olah mewakili rakyat, tapi rakyat yang mana? Rakyat yang duduk di kursi empuk dewan? Atau para mafia kebijakan yang bisa membayar mereka agar perda segera diloloskan demi kepentingan penguasa? Mereka mengatakan mewakili rakyat tapi rakyat semakin dibuat sengsara. Dan inilah puncak dari kehancuran peradaban demokrasi yang saat ini tengah dibangun oleh orde reformasi. Memang benar bahwa karena mekanisme pemilihan langsung, banyak daerah yang terlibat konflik dan perang saudara, SARA pun menjadi puncak konflik horisontal. Tapi yang perlu dipahami bahwa konflik-konflik di daerah sebenarnya bukan murni rakyat yang ingin berkonflik, tapi pengaruh opini dan provokasi dari pihak-pihak yang telah "merugi" lantaran kepentingannya tidak mencapai tujuan. Bahkan beakhir anti klimaks. Jadi jangan dianggap konflik di daerah berasal dari pemilihan langsung, tapi murni ulah orang-orang yang ingin memperkeruh suasana lantaran kekalahannya dalam kompetisi dalam ajang Pilkada. Sepertinya hampir semua persoalan konflik horizontal memiliki penyebab yang sama. Tidak terima jika harus kalah dalam kompetisi. Mau tidak mau pihak-pihak yang kalah berusaha menggiring massa atau konstituennya untuk mendukungnya secara membabibuta dan radikal demi kemenangan yang memaksa. Itulah fenomena pilkada tak langsung yang dianggap mencegah konflik horizontal, padahal sejatinya hanyalah kepentingan-kepentingan murahan dari anggota legislatif terkait kebijakan partai yang selalu menjadi tujuan utama dalam melengganggkan dan mengekalkan kekuasaannya di dalam pemerintahan. Sumber dan gambar : www.kompas.com Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H