[caption id="" align="alignnone" width="597" caption="Anas Urbaningrum dalam suasana sidang TIPIKOR Kasus Hambalang"][/caption]
Unik, aneh dan menggemaskan, itulah paling tidak melihat ulah para politisi negeri ini. Dari pertama pengungkapan kasus korupsi dan pencucian uang oleh KPK, tak sedikit para pesakitan yang justru memiliki permintaan yang aneh-aneh. Aneh menurut kacamata hukum formal di negeri ini. Anehnya setelah Anas Urbaningrum ditolak Pledoinya ternyata masih kurang terima dengan keputusan sang hakim, dan mengatakan bahwa majelis hakim tidak memperhatikan fakta-fakta hukum yang ada. Padahal runtutan persidangan sudah jelas mengatakan bahwa Anas bersalah secara mutlak menerima sejumlah gratifikasi dan melakukan pencucian uang.
Karena kesalahan Anas ini, hakim Tipikor memutuskan memenjarakan Anas 8 tahun penjara, denda 300 juta rupiah dan subsider 3 bulan kurungan. Selain itu Anas harus mengembalikan uang negara sebanyak Rp57 milyar serta US$52 juta. Sebuah hukuman yang cukup berat bagi pelaku korupsi di negeri ini.
Karena ketidak terimaan Anas atas putusan hakim ini, maka Anaspun mengajukan permintaan kepada majelis hakim dan jaksa agar melakukan sumpah mubahallah, menurut istilah Anas disebut sebagai sumpah kutukan. Padahal semua yang sudah melakukan prosesi persidangan sudah mendapatkan sumpah Al-Qur'an sebagai sumpah tertinggi dalam agama Islam.
Permintaan Anas ini cenderung aneh dan menggelitik. Bagaimana tidak, dalam sistem hukum formal di Indonesia tidak ada istilah sumpah kutukan (mubahallah), namun demikian sumpah tersebut sudah diwakilkan dengan adanya sumpah Al-Qur'an yang biasanya dilakukan tatkala pra persidangan dilakukan.
Saya teringat dengan sumpah-sumpah yang ada di Indonesia, terutama sumpah pocong, hakekatnya sama saja dengan sumpah mubahallah jika ditilik dari model sumpah ini. Sama-sama ingin meminta keadilan Tuhan sesuai dengan keyakinan penganutnya. Tapi apakah ada sumpah pocong ini? Sumpah pocong sebenarnya tidak ada dalam Islam, apalagi dalam sistem hukum formal di Indonesia. Sehingga jika Anas meminta sumpah mubahallah sepatutnya ditolak karena tidak ada dasar hukumnya. Justru dengan meminta sumpah mubahallah ini, Anas sudah mempermainkan hukum di Indonesia dan melakukan pembelaan kesalahannya dengan memakai sumpah yang tak jelas dasar hukumnya. Jika tidak ada dasar hukumnya berarti tindakan ini amat menyesatkan.
Benarkah majelis hakim melakukan kesalahan? Tentu saja dikembalikan pada sejumlah bukti dan saksi yang sudah ditunjukkan sehingga apapun keputusan ketua majelis hakim dengan hukuman yang sudah dijatuhkan tersebut sudah memenuhi rasa keadilan, terutama bagi Anas sendiri. Nah, jika Anas tidak terima dengan keputusan ini berarti Anas menghendaki hukuman dijatuhkan dengan standar yang lebih berat, atau justru Hukuman Gantung di Monas. Namun tentu saja tidak akan dilakukan, karena hukuman gantung tidak masuk dalam sistem hukum di Indonesia. Seandainya hukuman matipun maka para narapidana akan diekskusi oleh para penembak yang akan segera mengakhiri riwayat sang narapidana.
Anas semestinya bersyukur dengan keputusan ini, karena tidak sampai kepada hukuman mati, sebagaimana permintaan rakyat Indonesia agar segala perilaku korupsi yang merugikan negara harus dihukum seberat-beratnya agar mendapatkan efek jera.
Akibat diputus bersalah Anas Urbaningrum, maka akan membuka pintu baru untuk mengusut siapa-siapa sosok yang bermain api dalam proyek hambalan termasuk boleh jadi akan menyeret istrinya sendiri dalam pusara kasus yang berat ini. Bahkan tidak hanya itu, akan membuka tabir-tabir lama terkait beberapa kasus korupsi di negeri ini.
Salam Keadilan
Literatur disini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H