Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Style Keributan (Ngamuk-ngamuk), Itu Bukan Gaya Mahasiswa

16 November 2014   08:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:42 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="702" caption="Situasi demonstrasi penolakan kenaikan harga BBM oleh Mahasiswa UNM (Makassar), Sumber: Kompas.com"][/caption] Saya tertarik dengan berita yang muncul di dua media onlie terkemuka di Indonesia, Kompas.com dan Republika.co.id. Dan mungkin berita dari kedua media online tersebut juga diikuti oleh media-media massa lainnya. Yakni memberitakan tentang kericuhan saat demo yaitu Demo BBM Ricuh: Itu Style Makassar. Sebenarnya sih kalimat ini terlihat kasar dan tendensius, tapi terkesan dianggap biasa saja. Apalagi pernyataan tersebut disampaikan oleh Wapres Jusuf Kalla setelah terjadi kericuhan antara mahasiswa UNM dengan Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan yang kebetulan kericuhan diawali oleh dipanahnya seorang aparat kepolisian oleh mahasiswa, kemudian berlanjut kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian terhadap para demonstran dan wartawan. Kalau boleh saya kutip secara langsung dari Media Online tersebut, di antaranya dari Kompas.com yang dirilis tanggal 14 November 2014,  sebagai berikut:

“Ada memang kemarin besar di UNM (Universitas Negeri Makassar), tapi diperbesar itu karena media juga. Baru mereka mau demo karena media itu. Begitu ada media, ngamuk, ngamuk, ngamuk. Begitu Anda pergi, berhenti lagi. Begitu style Makassar itu,” ujarnya.

Begitu juga Isi berita di Republika.co.id yang juga mengulas informasi yang relatif sama tentang kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat Makassar, meskipun kejadian tersebut terjadi antara mahasiswa Universitas Negeri Makassar dan Aparat Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan, dengan merilis berita sebagai berikut:

"Menanggapi situasi di Makassar, Wakil Presiden Jusuf Kalla pun menyebut kerusuhan yang terjadi merupakan gaya warga Makassar. "Di Makassar itu mahasiswa emang begitu. Dinamisnya apa saja semua di demo. Sebenernya kecil, tapi diperbesar itu, karena juga begitu mau demo ada media itu ngamuk-ngamuk, begitu media pergi berhenti lagi. Itu style Makassar," ujar JK di Istana Wakil Presiden, Jumat (14/11). "

Sebenarnya kedua berita ini masih saya anggap biasa saja, lantaran demo yang berujung kericuhan tidak hanya di Makassar saja, akan tetapi juga terjadi di Lampung yang beberapa tahun lalu pra lengsernya Soeharto juga terjadi kericuhan, bahkan ada satu mahasiswa yang tewas. Tapi melihat pernyataan yang sangat tendensius tesebut sepertinya logika saya langsung tersentak kaget, terkejut tanda tak percaya. Apakah memang mahasiswa diidentikkan dengan kekerasan dan pembuat kericuhan? Tentu kita semua tidak sepakat dengan pernyataan ini. Lantaran mahasiswa yang saya pahami adalah selalu mengedepankan semangat demokrasi yang beretika dan menyampaikan segalanya dengan jalan yang santun, arif dan bijaksana. Secara pribadi meskipun saya bukan orang Makassar, saya kurang sepakat dengan pernyataan Pak Jusuf Kalla yang terkesan "menganggap" masyarakat Makassar menyukai kekerasan dalam menyampaikan gagasan atau opini dan penolakan terhadap kenaikan harga BBM. Meskipun saya tahu bahwa karakter masyarakat Makassar memang lumayan keras, tapi jika dikaitkan "Style" dengan maksud memberikan stempel, dan stigma buruk bahwa masyarakat Makassar adalah masyarakat yang suka kekerasan adalah kurang saya sepakati. Entah, bagi mahasiswa Makassar apakah menerima pernyataan ini atau tidak. Apalagi jika dikaitkan dengan istilah Ngamuk-ngamuk selayaknya mahasiswa diidentikkan dengan sekelompok orang yang tidak punya aturan dan pendidikan, karena segalanya diselesiakan dengan mengamuk (marah yang kelewat batas). Yang anehnya lagi, mengapa Pak Jusuf Kalla begitu mudahnya melontarkan pernyataan yang cukup kontroversial di media sedangkan Beliau adalah asli berasal dari Makassar? Bukankan pernyataan ini sama halnya dengan pribahasa "menepuk air di dulang terpercik muka sendiri?" Secara tidak langsung Pak Jusuf Kalla sudah menganggap masyarakat Makassar memiliki karakter buruk dengan aksi brutal tatkala melakukan demonstrasi. Padahal saya yakin pernyataan ini hakekatnya juga akan kembali pada Pak Wapres sendiri yang nota bene berasal dari daerah tersebut. Saya kurang sepakat dengan stigma kekerasan adalah model atau style mahasiswa saat ini, karena yang saya pahami dari mahasiswa modern adalah mereka selalu menyuarakan aspirasi secara damai dan bukan kekerasan. Boleh kita melihat bagaimana mahasiswa Hongkong yang berdemo tanpa aksi kekerasan, bahkan meskipun mereka sudah menyuarakan aspirasi yang cukup lama dan tak didengar, faktanya demonstrasi tersebut tidak berujung ricuh. Nah, seandainya kita tidak sepakat dengan kenaikan BBM kenapa aparat yang tengah bertugas mesti menjadi korban? Bukankan kenaikan BBM ini adalah murni rencana Presiden Jokowi dan Kabinetnya? Dengan alasan untuk dialihkan kepada bentuk lain yang lebih bermanfaat bagi masyarakat? Dan apakah kita masih kurang sepakat bahwa kenaikan BBM inipun juga dirasakan oleh daerah lain? Faktanya sampai saat ini meskipun terjadi unjuk rasa di beberapa daerah pun tidak sampai menimbulkan kekerasan fisik. Salam Sumber : Kompas.com, Republika.co.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun