[caption id="attachment_378066" align="aligncenter" width="300" caption="Dok. pribadi"][/caption]
Hari ini hari guru ya? Tanya saya kepada rekan kerja tatkala mereka tengah asyik membicarakan hari bersejarah bagi para guru-guru kita. Saya bertanya lagi kog kita 'nggak ikut upacara? Kan ini hari bersejarah untuk kita dan sebagai ucapan syukur dan penghormatan bagi guru-guru di negeri ini? Gak apa-apalah, biar kita wakilkan saja upacara hari guru ini kepada guru lain.
Bagaimana mungkin kami semua pergi berupacara memperingati hari guru, tatkala anak-anak didik tengah menanti untuk didampingi, diawasi dan dibimbing. Apalagi di antara mereka ada yang hiper aktif. Lepas pengawasan maka alamat teman yang jadi korban.
Biarkan kami menjaga anak-anak didik kami yang sepertinya tak dapat ditinggalkan begitu saja. Mereka anak-anak yang seringkali lepas kontrol dan harus lebih banyak diawasi. Tak tega pula ketika harus meninggalkan mereka meskipun hanya dua jam saja, tapi keselamatan anak-anak disabilitas harus dikorbankan.
..........................
Percakapan tersebut sesaat mengalir begitu saja tatkala di antara kami para guru harus turut serta dalam upacara yang penuh khidmat, upacara yang dilaksanakan sebagai bentuk penghormatan kepada para guru. Sosok pejuang yang sepertinya tak kering dari berbagai sisi berita. Berita positif yang senantiasa menghiasi laman berita nasional, namun tak sedikit pula berita negatif yang turut menusuk jiwa kami para guru-guru. Akibat berita-berita yang berdimensi berbeda itu, kami pun tak berani terlalu bersemangat untuk mengatakan bahwa kami sudah benar-benar jadi guru. Tentu bukan karena kami sudah melepaskan pakaian dinas kami, dan bukan pula karena kami tak lagi mendidik di sekolah. Tapi, semata-mata karena kami belum sepenuhnya bisa menjadi guru.
Itulah keadaannya, tatkala para guru harus diuji beraneka persoalan, ternyata di antara para guru harus rela tercoreng nama baiknya lantaran kelalaian kami dalam mendidik anak-anak negeri ini. Kami terlalu bangga dengan pakaian yang dikenakan, kami terlalu bersemangat tatkala gaji telah kami dapatkan. Akan tetapi alangkah malunya tatkala di antara mereka yang kami didik ternyata lepas kendali, liar dan seakan-akan tak tentu arah.
Kami malu, kami merasa tak memiliki harga diri tatkala disudutkan pada persoalan lemahnya mental anak negeri ini. Sebatas inikah cara kami mendidik anak-anak ini? Kami belum siap jika harus disebut pahlawan tanpa tanda jasa, tatkala kami selalu merengek-rengek akan kesejahteraan. Kami seperti mencoreng wajah sendiri tatkala generasi penerus kami tak lagi membanggakan.
Guru....semudah diucapkan karena begitu terhormatnya panggilan ini. Seseorang yang semestinya dapat digugu dan ditiru akhlaknya. Seseorang yang semestinya menjadi kebanggaan negeri ini karena telah mencatatkan tinta emas dalam sanubari generasi muda. Tapi apalah dikata, kami belum mampu menjadi guru yang sebenar-benarnya. Meskipun kami selalu berusaha semaksimal mungkin yang kami bisa menjadikan sosok guru senantiasa mengabdi dengan ketulusan.
Hari Guru sepatutnya bukan bentuk kesombongan atau kebanggan karena pakaian yang dibangga-banggakan, tapi di luar sana, anak-anak negeri ini lupa bahwa pernah dididik oleh para guru mereka. Mereka seperti kehilangan arah, kenakalan di mana-mana, karakter yang semakin memiris dada.
Selamat Hari Guru, Semoga para guru benar-benar bisa digugu dan ditiru. Bukan malah justru menyebarkan aib dan rasa malu. Tak rela ketika harus diguyu karena tak tahu malu.
Menjadi guru adalah kehormatan dan kemulyaan, tapi tak sebanding dengan beratnya beban yang harus diemban para guru demi mengangkat harkat dan martabat negeri ini melalui pendidikan yang selayaknya.