Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Memohon Maaf

29 Desember 2014   14:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:15 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiba-tiba seseorang bilang, Pak, aku kog iseh jengkel yo karo kae, soale tau nyakiti atiku. (Pak, Saya kog masih kecewa dengannya, karena dia telah menyakitiku). Mak jleb, dalam hatiku turut teriris. Sedalam apakah sakit hatimu wahai saudaraku? Kenapa rasa sakit hatimu seakan-akan tak lekang meski waktu telah meluluhkan segalanya? Apakah sedalam lautan kesalahan yang telah diperbuatnya? Ia pun menjawab: Mergo dee urong tau njalok ngapuro (Sebab ia belum meminta maaf padaku).

catatanku (doc. pribadi)

Mendengar curhatan saudaraku itu hati saya seperti tenggelam dalam samudra yang luas dan tak berdasar. Tubuhku meluncur bebas dan tak tahu sampai kapan akan berhenti. Entah, bagaimana bisa rasa sakit karena perbuatan, kata-kata dan guyonan seringkali tak terpikirkan bahwa itu akan menyakitinya. Di akhir pertemuan itu, saya bisa menyarankan, agar ia mencoba memaafkan meski ia belum pernah meminta maaf. Meski tak mudah melakukannya. Bahkan seandainya si pelaku kesalahan sudah meminta maaf, acapkali rasa sakit hati tak jua terobati.

Seperti itulah kenyataannya, tatkala seorang pribadi yang sepertinya akrab, saling bertegur sapa, tiba-tiba kata-katanya kog jauh dari kesan seorang sahabat. Mereka menyakiti, mengiris kalbu saudaranya seakan-akan ia mengiris seonggok daging ayam yang siap dijadikan santapan. Ia tak pernah menyadari bawah kata-kata, perbuatan dan guyonan itu justru menyakiti hati saudaranya. Ia menganggap seolah percikan kotoran yang menempel di hati bisa begitu mudahnya dibersihkan. Padahal semua tak mudah dilakukan jika orang yang merasa tersakiti tak pernah memaafkan.

Memohon maaf, memohon lebih identik dengan rasa penyesalan yang terdalam, ia bersimpuh di hadapannya berharap kesalahannya dimaafkan. Tak sekedar meminta, karena ia acapkali sebatas kata-kata tapi permintaan itu tak membekas dalam sanubari. Saat ini meminta, esok hari mungkin akan mengulangi lagi kedua kalinya. Jangankan merasa bersalah, seolah-seolah korbannya hanya pelampiasan dan boneka yang bisa dipermainkan. Saat ini meminta maaf, esok hari ia menyakiti lagi.

Terlepas dari makna memohon maaf yang maknanya terlampau dalam untuk sekedar dipahami, jika melihat fenomena musibah yang silih berganti, seakan-akan menyeruakkan kembali memory lama terhadap sikap, kata-kata dan prilaku kita yang seakan-akan tak mengenal hukum dan etika kepatutan. Tatkala umpatan dan cacian meluncur bebas dari lisan ini, mirip busur panah yang begitu mudahnya dilepaskan. Ia meluncur bebas dan menghujam dalam kalbu seseorang. Kadang cibiran, kadang sindiran yang benar-benar manis tapi ternyata pahit kenyataannya. Jika dibilang sinisme, faktanya dampaknya justru sarkasme yang secara terang-terangan dilontarkan kepada lawan bicaranya. Ia begitu mudahnya meluncur bak busur panah itu tanpa dapat dikendalikan lagi. Sudah dapat diduga, ketika busur itu sudah menghujam sasaran, maka tak ayal lagi rasa sakit pastilah tertinggal di sana. Masih beruntung jika kulit yang tersakiti, karena tak butuh waktu lama segera pulih kembali. Bagaimana jika jiwa yang tersakiti? pastilah sampai dibawa mati. Seandainya rasa sakit itu segera diobati, tentu akan segera sirna, tapi bagaimana jika bertahun-tahun tak juga diobati? bukan tidak mungkin ia seperti kanker yang menggerogoti tubuh. Bertahun-tahun mengendap, menggumpal dan membunuh inangnya.

Siapa yang pernah tahu kapan tibanya musibah datang? Tak ada seorangpun tahu kecuali Tuhan. Karena Dia lah yang menentukan setiap bait catatan kehidupan. Entah kebahagiaan maupun kedukaan. Semua kembali padaNya. Jika sudah demikian, mengapa kita tak segera memohon maaf jika pernah menyakiti saudara kita? Apakah kita terlalu angkuh dan takabur, karena merasa memiliki derajat lebih tinggi? Memohon maaf sepatutnya segera kita lakukan, sebelum bencana dan musibah benar-benar menghampiri kita.

Entah hari ini, sejam lagi, atau esok hari boleh jadi musibah dan bencana menghampiri kita. Jika memahami akan hal itu, kenapa tidak segera memohon maaf dan menyadari kesalahan?Mumpung tubuh ini masih diberikan ruh oleh Tuhan dan diberikan kesempatan umur yang panjang.

Meskipun demikian, orang yang memberi maaf sejatinya akan lebih mulia dibandingkan yang meminta atau memohon maaf. Karena mereka adalah sosok-sosok yang tak lagi menyimpan dendam dan sakit hati karena tak satupun manusia yang lepas dari kesalahan.

Saya teringat pesan dalam syair lagu Hj. Ida Laila dengan judul "Keagungan Tuhan"

Insyaf lah wahai manusia
Jika dirimu bernoda
Dunia hanya naungan
Tuk makhluk ciptaan Tuhan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun