Dalam era digital yang semakin berkembang, media sosial telah menjadi platform bagi setiap individu untuk mengekspresikan diri, berbagi pengalaman, dan berinteraksi. Namun, di balik kebebasan ini, terdapat sisi gelap yang sering diabaikan: budaya patriarki yang kuat, di mana komentar cabul dianggap normal dan suara perempuan sering kali tidak didengar. Salah satu contoh nyata dari fenomena ini adalah kasus pelecehan verbal yang dialami oleh Bernadya, seorang penyanyi yang belakangan ini viral berkat lagu-lagunya "Satu Bulan" dan "Untungnya Bumi Masih Berputar," yang sangat relevan dengan remaja saat ini.
Ketika Bernadya hendak pulang kampung, video yang dia unggah menarik perhatian publik, namun bukan hanya karena ekspresi lucunya. Sayangnya, ia juga harus menghadapi komentar merendahkan dari pengguna media sosial lainnya. Meskipun video tersebut menceritakan perjalanannya pulang, banyak netizen tidak bisa menahan diri untuk memberikan tanggapan yang tidak pantas, lebih fokus pada penampilannya daripada pesan yang ingin disampaikannya.
Pelecehan verbal yang dialami Bernadya menunjukkan bahwa banyak orang masih menganggap wajar melontarkan komentar cabul tanpa mempertimbangkan dampaknya bagi orang lain. Tindakan merendahkan ini bukan hanya menyakitkan, tetapi juga mencerminkan cara pandang yang salah terhadap perempuan. Budaya patriarki yang mengakar di masyarakat kita sering kali menempatkan perempuan sebagai objek, mengabaikan fakta bahwa mereka memiliki hak untuk dihormati dan didengarkan.
Peristiwa ini juga mencerminkan stigma yang sering dihadapi perempuan ketika mereka berani mengekspresikan diri. Alih-alih mendapatkan dukungan dan penghormatan, mereka sering kali justru disalahkan. Misalnya, banyak komentar yang mempertanyakan penampilan Bernadya, seolah-olah cara berpakaian dan berpenampilan menjadi alasan untuk pelecehan yang dialaminya. Ini merupakan bentuk victim blaming yang menunjukkan betapa dalamnya norma-norma patriarki yang ada, di mana perempuan sering kali dipandang sebagai penyebab dari tindakan yang dialami, bukan sebagai korban yang seharusnya dilindungi.
Ia pun menyampaikan kekecewaannya terhadap akun-akun yang berkomentar negatif pada dirinya dan mengajak semuanya untuk bijak dalam bersosial media, agar tidak merendahkan dan menyakiti orang lain, begini katanya " Tidak ada yang bisa membatasi orang mau berpikir apa, terserah. Wajar. Sangat wajar untuk berpikir apa pun tentang apa yang kamu lihat atau pun kamu tonton. Dan itu hakmu. Tapi kalau sekiranya, kalau misalnya kamu tahu itu akan menyakiti hati orang, atau akan bikin nggak nyaman orang pas baca, tolong simpan sendiri aja lain kali. Terserah sih."
kasus Bernadya seharusnya menjadi pengingat bahwa setiap suara memiliki nilai dan setiap kata memiliki kekuatan. Kita tidak bisa lagi mengabaikan dampak dari kata-kata yang diucapkan, baik secara langsung maupun melalui media sosial. Ketika seseorang diserang dengan komentar cabul, dampaknya jauh lebih mendalam daripada yang terlihat. Kita harus mulai menghargai suara perempuan dan memberi mereka ruang untuk berbicara tanpa rasa takut akan pelecehan.
Saatnya kita berkomitmen untuk mengubah narasi ini dan menciptakan lingkungan yang lebih aman dan penuh penghormatan, di mana setiap orang dapat berekspresi tanpa khawatir akan komentar merendahkan. Mari kita bersama-sama mendukung mereka yang berani berbicara dan melawan budaya patriarki yang merugikan. Dengan cara ini, kita dapat memastikan bahwa setiap suara, terutama suara perempuan, mendapatkan tempat yang semestinya dalam masyarakat kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H