Mohon tunggu...
Malikus Senoadi Widyatama
Malikus Senoadi Widyatama Mohon Tunggu... -

Wirausahawan sederhana, mudah, rajin menabung, kreatif, cepat tanggap, cerdas cermat, mudah dicari di toko terdekat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kearifan Lokal untuk Menyelamatkan Sungai Citarum (Bagian Ketujuh)

2 Mei 2011   07:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:09 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oxbow

Sungai dangkal tidak dapat menahan ribuan meter kubik air yang datang ketika hujan datang. Masuknya tanah dalam jumlah besar ke dalam sungai membuat terjadi pendangkalan dan daya tampung sungai menjadi berkurang. Akibatnya, air sungai luber ke sisi-sisi sungai yang menyebabkan genangan air di daerah sekitarnya.

Setiap kali hujan turun, hati warga di sekitar daerah rawan banjir DAS Citarum menjadi tidak tenang. Banjir pun meninggalkan lumpur tebal dan membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk menyingkirkannya. Tindakan penyedotan air pada saat banjir tiba telah memunculkan biaya yang mahal, karena sehari dapat menghabiskan 100 liter bensin.

Perlu upaya terpadu, baik struktural (seperti pembangunan fisik pembuatan tanggul, normalisasi sungai, dan pengerukan) dan non-struktural (penghijauan, pertanian ramah lingkungan dan tidak menanam tanaman semusim di lereng-lereng gunung, perbaikan tata ruang) juga perlu dilakukan.

Pada tahun 1990 Normalisasi Sungai Citarum sudah dimulai. Normalisasi ini dilakukan juga pada anak-anak sungai Citarum seperti Sungai Cisangkuy. Kami pun melakukan ekspedisi untuk melihat wilayah bekas proyek Normalisasi tersebut. Ketika menyusuri Sungai Citarum di wilayah Bale Endah, terlihat adanya bekas kelok-kelok sungai. Bekas ini yang disebut dengan istilah Oxbow.

Daerah Cigosol, kelurahan Andir, Kecamatan Bale Endah adalah salah satu desa yang dilewati aliran Sungai Cisangkuy. Setelah normalisasi, tidak terlihat sama sekali tanda-tanda bekas sungai. Lahan ini kini ditutupi oleh gulma, ilalang dan sampah. Sungai yang dulunya mengalir dan digunakan warga untuk beraktifitas sehari-hari, hingga kegiatan rekreasi, saat ini seperti sungai mati.

Untuk mengetahui bahwa daerah tersebut dahulunya sungai, kami harus menanyakan kepada penduduk setempat. Terutama penduduk yang hidup sebelum tahun 1990-an. Bahkan mereka masih dapat mengingat batasnya sebelum tertutup tanah dan sampah. Permasalahan di sungai mati ini antara lain adalah masalah genangan air jika musim hujan tiba, kondisi sanitasi yang buruk menyebabkan air tidak dapat terserap dengan baik atau tidak dapat mengalir ke luar dari wilayah genangan, ditambah lagi banyaknya sampah yang tertinggal menyebabkan tidak sedap dipandang mata.

Pada kondisi yang semacam itu, ada juga orang yang mencari keuntungan sesaat dengan merubah peruntukan lahan sungai mati itu dengan mendirikan bangunan tanpa ijin. Atau masyarakat yang tidak ingin repot mengurusi masalah sampah, dengan menjadikan daerah sungai mati itu menjadi Tempat Pembuangan sampah Akhir.

Jika di Cigosol, kondisi sungai mati amat memperihatinkan. Sedangkan di Kapung Mahmud di daerah Mekarrahayu, Kecamatan Marga Asih memanfaatkan daerah bekas Sungai Citarum yang disodet menjadi tambak untuk memancing. Airnya yang relatif bersih. Kemudian tanah hasil penggalian sungai di ujung daerah oxbow kini digunakan warga kampung untuk ditanami padi. Kondisinya lebih rapi dan tertata.

Kisah Kampung Adat di Wilayah Oxbow

Kampung Mahmud dengan penduduk sekitar 200 kepala keluarga dengan luas daerah sekitar 4 hektar. Ciri penanda bahwa anda memasuki Kampung Mahmud ini adalah papan nama bertuliskan “Makom Mahmud”. Mayoritas penduduk kampung bekerja sebagai petani. Namun juga dapat terlihat di berbagai sudut kampung, usaha pembuatan mebel dari kayu.

Menurut sumber-sumber literatur yang ada, rumah warga yang terbuat dari bambu dan berbentuk rumah panggung merupakan bagian dari adat kampung ini. Larangan adat kampung ini melarang membuat bangunan dari tembok, dan aturan yang mewajibkan memelihara binatang ternak seperti kambing dan angsa. Terdapat makam-makam tokoh agama dan pendiri kampung Mahmud, sehingga kampung ini ramai dikunjungi oleh penziarah, terutama di malam jum’at atau hari-hari besar umat Islam lainnya.

Konon pendiri Kampung Mahmud, Embah Eyang Abdul Manaf, merupakan keturunan Syarif Hidayatullah, seorang wali yang berasal dari Cirebon. Menurut cerita, nama ‘Mahmud’ diambil dari nama tempat ketika Embah Eyang Abdul Manaf naik haji ke Mekkah, segenggam tanah yang dibawa beliau dari Mekkah telah merubah rawa yang terletak di belakang kampung ini menjadi lahan kering, sehingga dapat dibangun permukiman warga hingga sekarang.

Menurut Dede, seorang warga Kampung Mahmud, di belakang kampung ini terdapat hutan yang menurut adat Sunda adalah hutan larangan. Hutan larangan adalah kearifan lokal untuk menjaga kelestarian lingkungan dengan menetapkan daerah-daerah yang dilindungi, dimana pohon tidak boleh ditebang dan binatang tidak boleh diburu. “Tetapi sejak jaman Belanda pun, hutan larangan ini sudah ditebang dan berubah menjadi kebun”, lanjut Mang Dede.

Mengenai kaitan dengan Sungai Citarum, bahwa pada tahun 2000 daerah ini termasuk yang terkena proyek Normalisasi Sungai Citarum. Sungai Citarum yang melalui Kampung Mahmud diluruskan . Bekas Sungai Citarum yang lama masih dapat ditemui di belakang kampung ini. Airnya relatif masih bersih dibandingkan dengan Sungai Citarum baru.

Sungai Citarum lama masih dimanfaatkan warga kampung untuk memancing dan beternak ikan. Pohon-pohon bambu di sekitar sungai lama memberikan keteduhan sehingga sangat nikmat untuk melakukan kegiatan memancing dan bersantai. “Dahulu warga menggunakan Sungai Citarum untuk mandi, cuci dan mengambil air untuk minum dan memasak. Ketika mulai banyak limbah, warga tidak berani memakai air sungai, maka sekarang warga menggunakan sumur tanah”, cerita Kang Dede.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun