Mohon tunggu...
Malikus Senoadi Widyatama
Malikus Senoadi Widyatama Mohon Tunggu... -

Wirausahawan sederhana, mudah, rajin menabung, kreatif, cepat tanggap, cerdas cermat, mudah dicari di toko terdekat.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Kearifan Lokal untuk Menyelamatkan Sungai Citarum (Bagian ke-3)

3 Mei 2011   08:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:07 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Horor Polutan

Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia kata horor identik dengan hal yang berhubungan dengan makhluk halus, klenik, dan mungkin pembunuhan sadis. Tetapi berbeda dengan teman kuliah saya dulu. Dia begitu paranoid dengan hal yang kotor. Kotor dalam arti sebenarnya. Pernahkah anda merasakan keringat dingin karena hal yang kotor, atau merasa geregetan kalau melihat tumpukan perkakas kotor di sink atau tempat cuci piring.

Laporan majalah National Geography menyebutkan Citarum masuk dalam sepuluh besar sungai terpolusi. Terlepas dari metode penilaian yang dilakukan oleh majalah itu, pastinya berita seperti itu membuat kita merasa miris. Bahkan lebih dari sekedar miris, hal itu sudah menjadi momok yang menakutkan alias horor bagi masyarakat.

Sungai Citarum memiliki sejarah panjang terkait dengan peradaban manusia sepanjang tepian daerah alirannya. Banyaknya peninggalan budaya pada situs-situs prasejarah, situs-situs masa Klasik dan situs-situs masa Islam yang terdapat pada tepian daerah alirannya merupakan bukti bahwa Citarum merupakan sungai penting bagi kehidupan manusia. Artinya banyak orang bergantung kepada aliran Sungai Citarum. Sekitar satu dasawarsa lalu, Sungai Citarum masih bermanfaat bagi warga yang tinggal di tepiannya. Airnya masih jernih dengan beraneka ragam kehidupan air. Sehingga banyak yang bergantung secara ekonomi dengan mencari ikan dan belut. Selain itu suasana sejuk masih dapat dinikmati.

Waduk Cirata memiliki 50.000 – 70.000 unit keramba jaring apung. Setiap hari puluhan ton ikan hasil budidaya dipasarkan kepada konsumen di daerah Bandung, Bekasi, dan Jakarta. Masih ingatkah anda dengan kisah horor kematian ribuan ikan di wilayah ini. Secara tiba-tiba ikan mengambang dan menyebabkan bau busuk ikan mati di waduk tersebut. Kejadian ini tidak hanya membuat teror yang menakutkan bagi petani ikan tetapi juga bagi seluruh masyarakat di sekitar DAS Citarum dan masyarakat yang suka mengkonsumsi ikan dari daerah tersebut.

Pada triwulan ke-IV tahun 2010, hasil penelitian Pusat Penelitian Sumber Daya Alam dan Lingkungan Unpad Bandung dan Badan Pengelola Waduk Cirata menyebutkan “Tidak ada satu lokasi pun di DAS Citarum yang kualitas airnya memenuhi baku mutu. Misalnya di Waduk Cirata, airnya dikategorikan buruk untuk air baku minum. Air yang sudah terendapkan di waduk ini tidak layak untuk perikanan dan peternakan.

Disinyalir air Cirata mengandung HS, bakteri E Coli dan Coliform, COD dan BOD melebihi ambang batas. Air tersebut tidak layak untuk perikanan dan peternakan karena mengandung HS, NH-N, NO-N, Cl dan CU.

Menurut laporan Walhi, Sungai Citarum mirip sebuah danau raksasa yang menampung air comberan. Pada bibir sungai menempel sisa-sisa limbah yang menimbulkan pemandangan tidak sedap. Secara kasat mata saja dapat dilihat, bahwa air Sungai yang sekitar satu dasawarsa lalu jernih kini menjadi berwarna hitam. Masyarakat yang berdiam di DAS Citarum kini tidak bisa lagi memanfaatkan air sungai untuk keperluan mandi, mencuci, termasuk mencari ikan dan binatang lain.

Horor itu semakin menjadi karena kondisi itu mengubah pola kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Bagi masyarakat yang mampu, mereka dapat menggali sumur, membuat kamar mandi atau WC. Tetapi untuk yang kehidupannya pas-pasan tentunya mengalami kesulitan luar biasa.

Belum lagi para petani yang mengandalkan air Sungai Citarum untuk pengairan kebun atau sawah mereka. Di beberapa tempat para petani enggan menggunakan air sungai untuk pengairan karena dapat merusak tanaman mereka.

Coba bayangkan teror yang dilakukan oleh limbah yang langsung dialirkan melalui pipa-pipa pembuangan limbah dengan tidak melalui pengolahan terlebih dahulu. Zat kimia sisa industri dalam jumlah yang besar digelontorkan begitu saja ke Sungai Citarum. Alasan industri-industri nakal yang tidak mengolah limbahnya sebelum dialirkan ke sungai adalah biaya tinggi. Terdengar tidak mau rugi ya, atau mungkin maunya hanya untung saja. Sebagai gambarannya perusahan Pulp and Paper setiap bulannya harus mengalokasikan anggarannya sedikitnya Rp.25 miliar hanya untuk pengolahan limbah.

Jangan kaget apabila suatu saat nanti banyak masyarakat DAS Citarum yang terkena dampak yang tidak mengenakkan dari buruknya kualitas air sungai. Gatal-gatal, diare, disentri, mungkin juga akan dapat menimbulkan dampak menakutkan seperti yang terjadi di Buyat. Inilah teror yang sesungguhnya dari industrialisasi.

Adakah produser film yang tertarik untuk membuat film horor tentang polusi di DAS Citarum ? Karena diperkirakan akan menimbulkan efek menakutkan yang lebih hebat dari sekedar Suster Ngesot ataupun Arwah Goyang Jupe Depe. Bahkan mungkin dapat menimbulkan efek paranoid kotor seperti yang dialami oleh teman kuliah saya dulu.

Janganlah produser film lupa prestasi film Slumdog Millioner yang mampu mendapat Piala Oscar sebagai film terbaik, yang mengambil sisi kumuh New Delhi. Ayo siapa yang berani ?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun