Malangnya nasib si bung. Pada akhir hayatnya, nama beliau sering akrab disapa dengan sebutan Penyambung Lidah Rakyat. Tak lupa pula, istilah Putra sang Fajar tersemat pada sosoknya. Hingga akhirnya terdengung-dengung lantunan lagu Paduka Yang Mulia, yang dinyanyikan oleh Lilis Suryani, disertai dengan doa-doa agar beliau sehat dan bahagia. Dari video-video, buku-buku pun film-film, semangatnya selalu berkobar-kobar, seolah-olah tak akan padam oleh siapapun juga. Â Sayang, hampir tujuh puluh tahun usianya pada waktu itu, kematian tampaknya terburu-buru menghampiri dirinya, menghapuskan segala harapan dan cita-citanya untuk Indonesia.
Kini, empat puluh tujuh tahun telah berlalu. Sejak kematian itu, nasib si bung nampaknya belum juga terhindar dari kemalangan. Sukarno sendirian, dikhianati bahkan hingga saat ini. Bila Marx mempunyai Engels selain sebagai juru tulis-ulang karyanya, juga sebagai kawan sekaligus sosok yang meneruskan dan menjaga pemikiran-pemikiran Marx, maka nasib berbeda dialami oleh Sukarno.Â
Tak hanya sendirian dan tanpa dukungan, Sukarno harus menyaksikan sendiri ketika pemikiran-pemikirannya dicatut dan hanya dipelajari sebatas slogan-slogan, lalu dipasang sebagai caption Instagram maupun status di Facebook, tanpa mengerti bagaimana makna dan maksud serta peristiwa apa saja yang melatari terciptanya pemikiran tersebut. Yang lebih mengerikan lagi, Sukarno harus menyaksikan sendiri pengkhianatan-pengkhianatan yang dilakukan oleh mereka, orang-orang yang yang menyebut diri mereka anak-ideologis Bung Karno, trah sekaligus orang yang menjaga pemikiran Sukarno.
Tulisan saya ini sebagai bentuk keprihatinan saya atas diskusi yang terjadi antara saya dan seseorang yang menyebut dirinya sebagai Marhaenis Sejati, Trah PNI dan Sukarnois (sedangkan dia menyebut saya Marhaenis Gadungan dan Anak Komunis yang mengaku sebagai Marhaenis-Nasionalis), mengenai ditetapkannya Perpu No. 2 Tahun 2017 yang belakangan sedang ramai dibicarakan.
Pada satu sisi, saya perlu mengakui bahwa saya adalah sosok yang kontra terhadap ditetapkannya Perpu No. 2 Tahun 2017. Alasannya sederhana. Setelah meringkas pasal demi pasal yang terkandung dalam perpu terkait, maka saya menyimpulkan bahwa ditetapkannya Perpu tersebut tak menutup kemungkinan bahwa suatu saat nanti akan tercipta kembali sebuah rezim-pemerintahan yang sewarna dengan rezim Orde Baru. Penetapan salah satu pasal yang terkandung di dalam perpu tersebut dinilai menunjukan bahwa pemerintah tidak lagi menghormati lembaga peradilan sebagai lembaga yang berwenang dalam meninjau dan menjatuhkan sanksi.Â
Peringatan tertulis untuk organisasi melanggar, yang semula ditetapkan tiga kali, dalam perpu dipangkas jadi sekali. "Aturan baru ini juga memberi kewenangan kepada pemerintah untuk langsung membubarkan ormas tanpa meminta pertimbangan Mahkamah Agung dan menunggu putusan pengadilan, seperti diatur dalam undang-undang lama. Prosedur baru ini memberi kewenangan tanpa batas kepada pemerintah.Â
Hal itu rawan disalahgunakan untuk membungkam dan membubarkan ormas yang kritis terhadap pemerintah," tulis seseorang dalam sebuah artikel yang dapat diakses di sini . Kedua, ancaman pidana yang terkandung dalam perpu tersebut dinilai sewenang-wenang, karena sanksi pidana yang dilakukan tidak semata-mata atas perbuatan atau peran yang dilakukan, melainkan hanya karena status keanggotaan (dalam ormas yang dimaksud mengancam Panca Sila). Sedangkan lawan bicara saya merupakan sosok yang pro dengan adanya perpu tersebut.
Problem yang terutama dibahas di dalam tulisan ini bukanlah mengenai pro dan kontra terhadap Perpu Ormas, melainkan tentang Panca Sila itu sendiri. Di luar alasan-alasan tentang mekanisme hukum yang terkandung di dalam perpu tersebut, saya menilai bahwa kehadiran Perpu No.2 Tahun 2017 mengurangi esensi dari Panca Sila yang saat ini 'hanya' digunakan sebagai alat-gebuk Ormas.Â
Di sini, saya melihat bahwa Pemerintah barangkali lupa kalau Sukarno pada saat itu menggagas Panca Sila bukan sekedar untuk menjadi solusi atas problem kebhinekaan. Panca Sila tidak hanya berbicara mengenai persatuan bangsa dan tidak hanya membahas soal keanekaragaman. Walaupun tidak dapat dikatakan pula bahwa hal-hal yang demikian adalah hal yang tidak penting. Panca Sila seharusnya dihadapkan problem yang lebih genting dari itu, lebih penting dari itu.
"Terus terang aku berkata, jikalau saudara-saudara membelah dada Bung Karno ini, permohonanku kepada Allah S. W. T. ialah saudara-saudara bisa membaca di dalam dada Bung Karno memohon kepada Allah S. W. T supaya Negara Republik Indonesia tetap berdasarkan Panca Sila." (Ampera: 2248)
Penolakan saya terhadap ditetapkannya Perpu No. 2 Tahun 2017 bukannya dimaksudkan kalau saya menampik bahwa masalah kebhinekaan adalah masalah yang sangat penting. Di sini saya menolak ketika Panca Sila hanya sebatas digunakan sebagai alat gebuk. Panca Sila tidak hanya berbicara soal moral dan persatuan pun Panca Sila tidak hanya berbicara soal komunis dan bukan komunis serta tidak berbicara mengenai 'yang pro pemerintah adalah Panca-Silais, sedangkan yang kontra adalah komunis.'
Saya menilai pula bahwa ditetapkannya Perpu ini sebenarnya telah membelokkan makna Panca Sila itu sendiri. Bung Karno menggagas Panca Sila agar menjadi sebuah benteng yang mampu melindungi kita dari segala problem kebangsaan (dalam hal ini problem persatuan), tetapi hadirnya perpu tersebut membuat Panca Sila seolah-olah tampil sebagai sebuah tunas yang baru tumbuh, yang harus dirawat dan dilindungi.Â