Secara umum gadai merupakan tindakan yang dilakukan oleh seorang untuk mendapatkan dana dengan memberikan barang jaminan kepada pihak pemberi dana. Dalam KUHPerdata sendiri gadai hanya mengatur tentang benda bergerak sehingga pengaturan terkait benda tidak bergerak dan bergerak mengarah pada PJOK nomor 31/ PJOK.5/2016. Namun pengaturanya terkait pada jasa gadai yang disediakan oleh Perseroan Terbatas dan Koprasi. Sehingga yang terkait dengan gadai tanah yang mana dilakukan oleh orang mengarah pada  Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960. Boedi Harsono mengemukakan Gadai tanah ialah hubungan hukum antara seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain, yang telah menerima uang gadai dari padanya.  Selama uang gadai belum dikembalikan, maka tanah tersebut dikuasai oleh pemegang gadai. Selama itu hasil tanah seluruhnya menjadi hak pemegang gadai. Pengembalian uang gadai atau yang lazim disebut penebusan, tergantung pada kemauan dan kemampuan pemilik tanah yang menggadaikan.
Di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Gadai tanah dikenal dengan istilah sandak/tanggep adalah penyerahan tanah dengan pembayaran sejumlah uang dengan ketentuan bahwa orang yang menyerahkan berhak atas pengembalian tanahnya dengan memberikan uang tebusan dan pemegang gadai dapat menggunakan tanah yang dipegangnya. Gadai tanah sawah ini sama seperti pinjam meminjam "aku pinjam uangmu, kamu kelola tanah sawah".  Hak gadai tanah ini timbul dalam masyarakat dikarenakan seseorang memerlukan uang dan sedang dalam keadaan yang mendesak dengan jaminan tanah miliknya.
Pelaksanaan sandak-tanggeppun dilakukan secara lisan tanpa ada campur tangan pejabat umum yang berwenang, seperti Notaris, dll. Hanya diketahui oleh kedua belah pihak dan keluarga saja, kemudian informasi mengenai gadai (sandak-tanggep) dan objek gadai akan berkembang dengan sendirinya kepada Masyarakat. Seiring berjalannya waktu, seringkali terjadi penambahan uang gadai. Bukan hanya sejumlah pada saat awal perjanjian dimulai. Jika pemberi gadai membutuhkan uang, maka ia dapat meminta lagi kepada penerima gadai.
Menurut penjelasan Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian Dalam peraturan ini diatur pula mengenai gadai tanah pertanian , yang dimaksud dengan gadai ialah hubungan antara seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain, yang mempunyai utang uang padanya.Â
Selama utang tersebut belum dibayar lunas maka tanah itu tetap berada dalam penguasaan yang meminjamkan uang tadi (pemegang gadai). Selama itu hasil tanah seluruhnya menjadi hak pemegang gadai, yang dengan demikian merupakan bunga dari utang tersebut. Penebusan tanah itu tergantung pada kemauan dan kemampuan yang menggadaikan, tetapi pelaksanaan gadai oleh masyarakat masih banyak yang tidak menerapkan ketentuan dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang penetapan luas tanah pertanian, karena dapat mengakibatkan kurangnya peminat dalam pelaksanaan gadai khususnya dalam hal gadai tanah pertanian.
Pelaksanaan gadai tanah sawah (sandak-tanggep) di Lombok, Nusa Tenggara Barat seringkali berlangsung lebih dari 7 tahun, hal ini jelas bertentangan dengan pasal 7 Â Prp No. 56/1960 tentang penetapan Luas tanah pertanian. Salah satu ketentuan Land Reform yang tertuang dalam UU ini adalah mengenai gadai tanah pertanian.Â
Apabila gadai terjadi lebih dari 7 tahun, maka pemegang gadai wajib mengembalikan tanah tersebut tanpa pembayaran uang tebusan, dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen. Undang-Undang ini mempertimbangkan bahwa hasil panen yang didapat dari gadai sawah (sandak-tanggep) selama 7 tahun sudah sangat cukup memenuhi uang gadai dalam perjanjian pokoknya.Â
Namun jika belum berlangsung selama 7 tahun, maka pemilik tanahnya berhak untuk memintanya kembali setiap waktu setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan membayar uang tebusan yang besarnya dihitung, waktu berlangsungnya dengan jumlah uang gadai tersebut.
Ada beberapa resiko yang akan timbul dalam menggunakan  (sandak-tanggep) antara lain, Saat membutuhkan dana pihak penerima gadai tidak boleh menjual tanah tersebut kepada pihak lain, pihak penerima gadai tidak dapat memaksa penebusan atas tanah tersebut, tidak di tentukannya batas waktu gadai akan menimbulkan masalah di kemudian hari apabila tanah tersebut belum bersertifikat dan para pihak meninggal dunia, hal tersebut cenderung merugikan ahli waris penggadai, dan penafsiran nilai tanah tidak akurat, terkadang nilai dana lebih dari barang jaminan.
Setelah berlakunya Undang-Undang Landreform ini bertujuan untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. UUPA menetapkan dalam pasal 7, bahwa agar supaya tidak merugikan kepentingan umum maka pemilihan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. landreform dimaksudkan untuk meningkatkan kesejarteraan Masyarakat, khsusunya petani yang tidak memiliki sawah. Secara yuridis pelaksanaan land reform di Indonesia didasarkan pada UUPA yang mengatur pembatasan pemilikan dan penguasaan tanah dan kemudian dijabarkan dengan UU No. 56/Prp/Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.
Namun hal tersebut sangat bertentangan dengan kebiasan-kebiasaan pelaksanaan gadai tanah sawah (sandak-tanggep) yang dilakukan oleh Masyarakat di pulau Lombok. Dimana kebiasaan yang pelaksanaan gadai yang berkembang masih berasaskan kekeluargaan, tolong-menolong dan rasa kepercayaan.