Mohon tunggu...
Sabtu Kemarin
Sabtu Kemarin Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Tak punya dan tak suka masalah, hanya sedang mencari tahu sesuatu ;)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik: Ide (aka Komoditi)

25 Oktober 2013   11:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:03 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_307416" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi/ Admin (Kompas.com)"][/caption]

Pendekatan Ekonomi terhadap Politik tak dapat dimungkiri; kedua disiplin tersebut merupakan bentuk simbiosis mutualisme. Kekuatan ekonomi seseorang hampir selalu berbanding lurus dengan kekuatan politiknya. Faktor-faktor yang dikenal dalam disiplin ekonomi (produksi/distribusi/alokasi) juga berfungsi dalam politik praktis. Efisiensi, misalnya, yang memungkinkan tujuan dapat tercapai dengan upaya atau biaya (ongkos pada sistem produksi) yang minim namun menghasilkan nilai maksimal.

Alih-alih pertarungan Ide, Pemilihan Umum yang akan dilaksanakan pada 2014 sesungguhnya lebih merupakan ajang tanding kekuatan ekonomi. Aristoteles, bapak Ilmu Politik itu, mengatakan bahwa "bagaimana manusia akan bertindak dalam hal tertentu bergantung pada pengaturan kehendaknya secara benar dan tidak pada kesempurnaan inteleknya." Hal ini juga diulas kembali oleh Max Weber dan dikenal dengan teori Rasionalitas Bertujuan: suatu tindakan dikatakan benar (rasional) apabila dapat mencapai tujuan dengan efisien. Calon Anggota Legislatif (caleg) sebagai representasi dari suara partai melakukan hal yang persis dikatakan Aristoteles dan Weber: bahwa kesempurnaan intelektual bukanlah hal yang utama, melainkan kesadaran dalam bertindak untuk mencapai tujuan. Dan Politik akan selamanya seperti itu dengan tujuan yang abadinya: kekuasaan.

Dominasi kekuatan ekonomi dalam ranah politik di Indonesia akhir-akhir ini cukup menakutkan. Bukan hanya membunuh ide, lebih jauh, ia juga mengamputasi politik menjadi sebuah pekerjaan (berkaitan dengan kecakapan melaksanakan tindakan yang umum), bukan profesi (berkaitan dengan kecapakan sesuai disiplin ilmu tertentu). Manifestasi hubungan kedunya dapat terlihat dari hal yang paling "kecil", yakni Baliho, Spanduk, Poster, Iklan, dsb. Merupakan bentuk Oligarki yang kini menyandera politik. Seorang caleg dengan kekuatan ekonomi luar biasa dapat dilihat dari jumlah titik baliho atau ukurannya atau intensitas iklannya di harian-harian lokal. Hal itu belum termasuk biaya "serangan fajar" yang telah mahfum dilakukan saban Pemilu atau Pilkada. Ide-ide yang tertanam serta yang menjadi adagium utama dalam politik seperti kebebasan, kesetaraan, hingga emansipasi, menjadi kabur dan ditinggalkan oleh pelakunya (baca: politikus).

Politik merupakan intrumen publik yang digunakan untuk kepentingan publik. Pelbagai bentuk kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka sosialisasi belum memberikan pembelajaran politik bagi masyarakat. Hal ini membuat politik menjadi semakin jauh dari jangkauan masyarakat, serta secara tidak langsung menciptakan sifat apatis yang masif terhadap politik, yang mana hal tersebut dapat ditilik dari rendahnya partisipasi masyarakat pada Pilkada. Suara pemilih disederhanakan sesuai dengan nilai ke-ekonomiannya: harga. Setiap suara hanya akan dihitung sesuai dengan harga yang umumnya telah menjadi kesepakatan umum atau kebiasaan. Setali tiga uang, dengan pendekatan pragmatais yang dilakukan oleh politisi kita, pemilih tak lagi melihat suaranya sebagai sarana untuk mewujudkan ide atau merupakan bagian yang tak tersipsahkan dari upaya emansipasi, melainkan hanya sebatas komoditi yang memiliki nilai, harga. Dengan pendekatan pragmatis seperti yang dipraktekan itu, kita tak bisa berharap banyak terhadap Legislator yang terpilih, bahkan kualitasnya tak menutup kemungkinan tidak lebih baik dari saat ini. Penalaran ekonomi yang digunakan dalam kancah politik sebagaimana yang kita temui hanya mereflesikan tindakan politik sebagai transaksi, bukan pergumulan ide-ide.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun