Hari itu saya kebagian  tugas menutup kedai sushi kami. Sekitar  jam 3:30 sore saat sedang sibuk mempersiapkan tetek bengek buat esok hari ( mengisi kembali botol botol mayones, wasabi, ginger)  terdengar sapaan : hello there. Rupanya pengantar tuna yang terlambat datang, biasanya tuna datang tengah hari  dan ditangani oleh teman kerja giliran  pagi sebagai penutup hari kerjanya.  Terpaksalah  saya menghentikan kegiatan, menerima dan membawa tuna itu untuk  disimpan di cooler dekat dapur  supermarket.
Kedai sushi kami ini berada didalam supermarket papan atas bernama Wholefoods Market, yang terkenal dengan produk ramah lingkungan dan anti genetically modified organism. Daging yang dijual berasal dari hewan yang diternakan dengan etika kehewanan, diberi makan makanan yang layak dan tidak disuntik dengan hormon. Daging ayam dan telur juga berasal dari peternakan yang membiarkan ayam bebas berlari dikandang yang luas dengan istilah free running chicken. Dengan sendirinya tentu saja produk supermarket ini mahal dari supermarket biasa, telur dari free running chicken biasanya mencapai 2.5 sampai 3 kali lipat lebih mahal dari telur tanpa embel embel free running.Â
Tuna seberat 10 kg tersebut saya bopong  ke cooler seperti mengangkat anak balita tidur, tubuhnya yang yang sudah tidak berkepala lagi dibalut  plastik pembungkus tipis terasa  lembut dan  kenyal, tubuh makhluk hidup yang baru saja meregang napasnya. Tiba tiba hati saya merasa tercekat.
Tuna adalah ikan yang tidak banyak dibudi dayakan oleh manusia.  Mereka hidup di laut lepas, merdeka. Makhluk  tanpa kepala yang saya gendong untuk disimpan di cooler ini ; yang mana keesokan hari dagingnya akan diiris tipis sebagai imbuhan sushi dan sashimi,  telah berhasil menghidupi dirinya  sehingga mencapai berat 10 kg secara mandiri. Tapi kemudian  hidupnya yang merdeka dan bahagia itu dirampas oleh manusia. Dia ditangkap, dicabut nyawanya dengan paksa, kepalanya dipenggal dan dikirim ke kedai sushi di supermarket papan atas ini sebagai bahan kudapan manusia berduit.
Kitab suci mengatakan bahwa manusia adalah kalifah, seisi bumi diciptakan buat manusia. Kebanyakan orang menginterpretasikannya sebagai : manusialah yang menempati urutan paling atas dalam hak hidup di bumi ini sehingga boleh boleh saja menyikat semua makhluk hidup lain demi kelangsungan hidup manusia. Â
Bukan kah ini interpretasi yang salah kaprah ?. Apa memang berhak manusia semena mena menangkapi hewan hewan liar yang hidup merdeka ?. Apa memang berhak manusia menangkapi hewan hewan yang mencari penghidupan dengan usahanya sendiri tanpa campur tangan manusia. Logikanya  kelakuan  manusia  menangkapi dan membunuh  hewan hewan liar ini adalah tindakan kriminal setara dengan perampokan bukan ?. Dalam hal ini manusia merampok hak hidup hewan liar ini.
Lantas apa daya manusia yang memang ditakdirkan harus makan (mahkluk lain) untuk bertahan hidup ?. Ini pertanyaan filosofi yang mestinya dipertanyakan oleh manusia kepada dirinya sebagai kalifah di muka bumi. Kalifah diberi tugas menjadi penguasa bijaksana yang memperhatikan dan melindungi hak hak kaum yang lemah; hewan dan tumbuhan adalah makhluk yang lemah.
Agar semua makhluk mendapat kesempatan hidup layak dimuka bumi ini, hal pertama yang mestinya dilakukan manusia adalah membatasi jumlah populasi manusia sehingga sumber daya alam seperti tanah, air dan udara dapat digunakan bersama dengan hewan dan tumbuhan.
Seyogyanya ada peraturan untuk membatasi atau bahkan melarang penangkapan hewan liar. Hewan yang dapat dimakan cuma hasil budi daya manusia, dan inipun semestinya ada peraturan umur berapa hewan budi daya ternak boleh disembelih. Apakah etis memakan bayi bayi hewan ? Kita kan bukan tukang sihir dalam kisah hasel dan Gretel yang suka memakan anak anak kecil kan.
Seusai kerja hari itu, dalam perjalanan menuju pintu keluar,  mata saya tertancap pada satu poster iklan didinding  : premium wild caught halibut. Yna kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia adalah ; Halibut hasil tangkapan berkualitas tinggi.  Alangkah ironis nya, di supermarket papan atas ini, dimana  semua komoditas adalah premium dan ramah lingkungan, kok ya tetap bangga dengan produk 'wild caught'. Adalah benar bahwa produk 'wild caught' itu berkualitas tinggi karena  bebas hormone dan bebas  senyawa kimia, karena hidup merdeka di alam. Tapi kembali ke pertanyaan semula; apa  hak manusia menangkapi hewan hewan liar yang merdeka menghidupi dirinya sendiri ? Bahkan orang orang berpendidikan dan berduit dinegara maju saja tidak merasa sedikitpun tergugah sanubarinya atas ketidak adilan ini. Perjalanan masih panjang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H