Â
 MENTAWAI. Ternyata, sistem barter/tukar barang masih ada di tengah masyarakat Indonesia. Saat musim panen, barter antara petani dan pengepul, nelayan dengan agen minyak, masih bisa kita jumpai di Kepulauan Mentawai. Bukannya tidak cinta, masyarakat lebih suka membawa pulang sembako, daripada bullaggat(Rupiah).
Saat musim lobster (udang) di Kepulauan Mentawai, sebelum melaut nelayan akan ketempat pengepul dan meminjam beberapa liter bensin untuk mesin boat. Sepulang dari mencari lobster (udang) atau tangkapan laut lainnya, hasil tangakapan akan dibarter dengan bensin dan sembako pengepul.
 Begitu juga saat musim cengkeh, pagi hari sebelum ke ladang, petani akan mampir ke warung pengepul untuk mengambil kopi, gula, roti, teh dan bahan makanan lainnya. Sepulang dari ladang, pinjaman petani di pagi hari akan dipotong dengan hasil cengkeh yang berhasil dibawa. Belum selesai sampai disana, para petani masih enggan juga membawa rupiah, mereka lebih suka membawa beras, minyak goreng, roti dan rok*k untuk dibawa pulang.
"Ya, menjadi pengepul memang enak di sini, harga yang didapat sedikit lebih murah, apalagi kita juga berjualan sembako, singkatnya, dua kali untung", ucap Simay, salah seorang pengepul cengkeh dan hasil alam Mentawai di Desa Bosua, Pulau Sipora.
Jarak tempuh yang cukup jauh, juga menjadi alasan petani dan nelayan kenapa lebih memilih pengepul di tingkat dusun ketimbang membawa hasil alam dan hasil lautnya ke ibukota Tuapeijat.
Tidak jauh berbeda, jika pernah berkunjung ke pedalaman Siberut, tempat para Sikerei (masyarakat adat Mentawai) yang terkenal dengan tato tertua di dunia, para tamu sering membawa kerajinan tangan tradisional yang didapat dengan cara barter.
Melihat pola interaksi seperti ini, tepat sekali rasanya jika kita katakan 'Mencintai rupiah tidak harus memilikinya di Mentawai'
TANTANGAN TANPA RUPIAH
Di dusun tidak banyak uang tunai, namun cengkeh, kopra, nilam, pisang dan sikobou (talas-red), melimpah. Jika tolak ukurnya Rupiah mungkin orang di dusun terbatas, tapi jika diukur dengan ketersedian bahan makanan, warga dusun tidak kekurangan. Udang dan lokan juga melimpah contohnya di Sungai Dusun Saliguma, Siberut, tempat saya berasal, ucap Erkanus Salimu (31).
Susahnya tidak pegang Rupiah paling terasa ketika musim sekolah, kenang Erkanus, anak-anak Kepulauan Mentawai harus terbiasa mencari kerja sampingan seandainya tidak ada kiriman dari dusun. Buruh panjat kelapa, buruh panjat cengkeh dan angkut batu, adalah beberapa pekerjaan yang selalu tersedia bagi anak Mentawai yang berani meninggalkan dusun untuk bersekolah, kelakarnya.
RUPIAH SEMAKIN BANYAK
Saat ini akses menuju Kepulauan Mentawai semakin lancar, kapal cepat dan kapal barang rutin berlayar setiap minggunya menghubungkan Mentawai dengan Kota Padang. Dengan didukung akses transportasi yang lancar, hasil alam dari bumi Mentawai semakin bisa dipasarkan ke daerah lainnya. Artinya, rupiah semakin banyak mengalir dan kedepan masyarakat Mentawai akan semakin bisa mengatasi ketertinggalan.Â
Kepulauan yang berada paling Barat Provinsi Sumatera Barat ini, memang menyuguhkan keindahan alam  dan hasil alam yang melimpah. Mentawai terkenal dengan surganya para peselancar dan pasir putih. Bagi yang belum pernah berkunjung, Kepulauan Mentawai direkomendasikan untuk perjalanan anda berikutnya. Pastinya, selain membawa Rupiah siapkan juga barang-barang yang akan anda barter nantinya. Malainge Mentawai!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H