Mohon tunggu...
Mukhtar Alshodiq
Mukhtar Alshodiq Mohon Tunggu... -

Pikirkan Yang Ada dalam Kenyataan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Nikah Siri Wajib Diresmikan

8 Desember 2012   03:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:01 934
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MUI seharusnya melakukan pengkajian ulang fiqih mengenai unsur-unsur "rukun dan syarat" perkawinan yang sah disesuaikan dengan perkembangan zaman, karena Mazhab Imam Malik sejak awal sudah menegaskan perlunya "I'lan" itu harus menjadi salah satu unsur rukuan dan syarat perkawinan. I'lan tidak sekadar bermakna "pengumuman", tapi juga dapat bermakna "pengadministrasian" yang tertata dan baik, mengingat perkawinan saat ini tidak semata berunsurkan pemenuhan hasrat cinta dan seksual yang halal, tetapi juga harus terpenuhi unsur perlindungan hak asasi suami, istri, dan anak-anak mereka. Karena saya lihat, penentuan rukun dan syarat perkawinan dalam fiqih juga tidak bisa dilepaskan dari nuansa kepentingan "politik" lintas mazhab dalam hukum Islam. Lebih jauh, baca buku: NIKAH SIRI WAJIB DIRESMIKAN penerbit FOCUS GRAHAMEDIA, cetakan I, 2012.

Sebagai warganegara Indonesia yang patuh dan taat, selain harus mengikuti ajaran agama yang diyakini dan dipercaya dengan baik dan benar, juga harus taat pada ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hal pelaksanaan perkawinan di Indonesia, harus tercakup unsur rukun dan syaratnya secara sempurna, juga harus ada pengakuan sah menurut ketentuan UU Perkawinan. Misalnya, seorang perempuan menikah tanpa restu wali yang sah, maka dia dapat mengangkat wali hakim atas dasar putusan Pengadilan Agama bagi orang Islam. Artinya, pengabsahan rukun dan syarat perkawinan sesuai ketentuan Islam harus melibatkan ketentuan UU Pengadilan Agama...

Artinya, ketentuan rukun dan syarat perkawinan dalam Islam bukan "barang" mati untuk dilakukan pengembangan analisis fiqih (ijtihad) sesuai kemajuan zaman (masa kekinian) dan ini masuk dalam kategori fiqih kontemporer. Jadi perlu ada kehendak para stakeholders untuk mengembangkan fiqih rukun dan syarat perkawinan ini dalam berbagai sudut pandangan fiqih kontemporer. Bahwa, unsur rukun dan syarat perkawinan (rukun: hadirnya calon mempelai laki2 dan perempuan, wali, 2 saksi, dan ijab qabul serta sederetan syarat-syaratnya yang harus terpenuhi), tetapi perlu adanya nuansa fiqih baru menjawab perkembangan sosial umat Islam saat ini, yakni "Pencatatan Perkawinan" oleh negara harus dimasukkan menjadi salah satu unsur rukun dan syarat perkawinan yang sah, hal ini sebenarnya telah disinyalir Mazhab Maliki.

Keberadaan "Pencatatan Perkawinan" dalam rukun dan syarat perkawinan yang diakui oleh fiqih dan perundang-undangan merupakan unsur terpenting, mengingat perlindungan jiwa raga manusia menjadi salah satu "maqashid al-syari'ah), sedangkan pelaksanaan nikah siri di berbagai level saat ini sudah sangat mengkhawatirkan karena terjadi berbagai tindak pelecehan terhadap jiwa dan raga manusia, dan yang terbanyak mengalami hal ini adalah PEREMPUAN. Apalagi kalau yang melakukan itu adalah UMARA (pemerintah dan unsur-unsurnya) dan ULAMA, selalu berlindungi di balik label kekuasaannya itu.

Hal di atas dapat terwujud ketika keberadaan hamba Allah SWT yang bernama Laki-Laki dan Perempuan itu sama-sama diakui kehadiran dan pengakuan terhadap hak-hak dasarnya sebagai manusia oleh seluruh umat manusia itu. Tanpa pengakuan itu, maka NIKAH SIRI tetap saja dianggap sebagai perkawinan yang sah oleh para peminatnya.

Bagi pelaku yang sudah terlanjur melakukan NIKAH SIRI hingga saat ini, maka UU Pengadilan Agama memberikan peluang untuk mengesahkan perkawinannya lewat Itsbat Nikah, yakni kedua mempelai mengajukan permohonan Itsbat Nikah (Pengakuan Nikah) ke Pengadilan Agama setempat untuk mendapatkan Akte Nikah. Karena keberadaan Akte Nikah saat ini sangat diperlukan, tidak semata dan sekadar untuk melegalkan perkawinan secara agama dan hukum negara, tetapi juga menjadi legalitas yang sah bagi kelengkapan administrasi lainnya, baik bagi kelengkapan administrasi anak-anak keturunannya, pengakuan hak ahli waris, maupun pengakuan yang sah oleh hakim di Pengadilan ketika melakukan talak atau gugat cerai.

Ketika AKTE NIKAH tidak dimiliki oleh kedua mempelai, maka apapun yang menimpa di kemudian hari terkait dengan statusnya sebagai suami istri, sekalipun sudah bertahun-tahun memiliki anak dan cucu, tetap saja Pengadilan/hukum tidak bisa berpihak kepadanya, termasuk pengakuan hak yang sah terhadap pembagian harta warisan kelak ketika salah satu mempelai meninggal, juga pengakuan anak kepada bapaknya. Artinya, tetap saja menyimpan permasalahan besar di kemudian hari.

Melalui rilis ini, saya memohon kiranya seluruh pemangku kepentingan (stakeholders), baik itu ulama, pemerintah, politikus, maupun tokoh masyarakat menyatukan pandangan demi masa depan umat manusia yang lebih baik dan terlindungi. Oleh karena itu, saya menyarankan kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk melakukan pengkajian lebih dalam, semoga melahirkan sebuah Fatwa Kontemporer terhadap Rukun dan Syarat Perkawinan dalam hukum Islam, agar menjadi acuan bagi umat Islam khususnya di Indonesia.

Penulis,

Mukhtar Alshodiq

nurmukhtar@gmail.com

mal_shodiq75@yahoo.co.id

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun