"Seputih melati, sebening
embun pagi di hari suci yang
penuh rahmat dan
kemenangan. Ketulusan
mema'afkan adalah kunci
kemuliaan diri. Dengan segala
kerendahan hati kami
mengucapkan "Selamat Hari
Raya Idul Fitri 1 Syawal 1432
H. Mohon Ma'af Lahir dan
Bathin" (dr Sudarmono &
keluarga)
Bayangkan Anda sedang
menghadiri pesta yang amat
meriah. Semua orang tampil
dengan pakaian terbaik.
Makanan yang
dihidangkanpun tampak lezat
dan mengundang selera. Saat
Anda antre untuk mengambil
makanan, tiba-tiba seseorang
yang sangat Anda percaya
berbisik di telinga Anda, ''Hati-
hati, banyak makanan tak
halal disini, bahkan ada
beberapa yang beracun!''
Saya berani menjamin Anda
akan mengurungkan niat
mengambil makanan. Boleh
jadi Anda pun langsung pulang
ke rumah. Anda benar, hanya
orang bodohlah yang mau
menyantap makanan tersebut.
Kita tak mau makan
sembarangan. Kita sangat
peduli pada kesehatan kita.
Anehnya, kita sering -- bahkan
dengan sengaja --
memasukkan ''makanan-
makanan beracun'' ke dalam
pikiran kita. Kita tak sadar
bahwa inilah sumber
penderitaan kita. Salah satu
makanan yang paling
berbahaya tersebut bernama:
ketidakmauan kita untuk
memaafkan orang lain!
Ketidakmauan memaafkan
adalah penyakit berbahaya
yang menggerogoti
kebahagiaan kita. Kita sering
menyimpan amarah. Kita
marah karena dunia berjalan
tak sesuai dengan kemauan
kita. Kita marah karena
pasangan, anak, orang tua,
atasan, bawahan, dan rekan
kerja, tak melakukan apa
yang kita inginkan. Lebih
parah lagi, kita memendam
kemarahan ini berhari-hari,
bahkan bertahun-tahun.
Memang banyak sekali
kejadian yang memancing
emosi kita. Pengendara motor
yang memaki kita, mobil yang
menyalib dan hampir
membuat kita celaka, orang
yang membobol ATM kita,
adik yang sering minta
bantuan tapi tak pernah
mengucapkan terima kasih,
pembantu yang membohongi
kita, maupun bos yang
pelitnya luar biasa. Kita
mungkin berpikir bahwa
orang-orang tak tahu diri ini
sudah sepantasnya kita benci.
Tapi kita lupa bahwa
kebencian yang kita simpan
hanyalah merugikan kita
sendiri.
Sudah menjadi tabiat manusia,
tatkala hatinya disakiti, dia
akan merasa sakit hati dan
boleh jadi berujung dengan
kedendaman. Walaupun
demikian, bukan berarti kita
harus dendam setiap kali ada
yang menyakiti. Malah
sebaliknya, jika kita dizalimi,
maka doakanlah orang-orang
yang menzalimi itu agar
bertaubat dan menjadi orang
saleh. Mampukah kita
melakukannya?
Para Nabi-Nabi adalah sosok
yang hatinya bersih dari sifat
dendam. Walau ia dihina,
dicacimaki, difitnah, bahkan
hendak dibunuh, tak sedikit
pun ia mendendam. Bahkan,
ia mati-matian berbuat baik
kepada orang-orang tersebut
dan begitu ringannya ia
memaafkan.
Penelitian menunjukkan
ketidakrelaan memaafkan
orang lain memiliki dampak
hebat terhadap tubuh kita:
menciptakan ketegangan,
mempengaruhi sirkulasi darah
dan sistem kekebalan,
meningkatkan tekanan
jantung, otak dan setiap organ
dalam tubuh kita. Kemarahan
yang terpendam
mengakibatkan berbagai
penyakit seperti pusing, sakit
punggung, leher, dan perut,
depresi, kurang energi,
cemas, tak bisa tidur,
ketakutan, dan tak bahagia.
Baru-baru ini saya sempat
berinteraksi dengan
sekelompok mahasiswa yang
mengeluhkan perasaan
tertekan dan tak bahagia.
Ternyata, kebanyakan dari
mereka memendam berbagai
kemarahan, baik kepada
orang tua maupun orang-
orang di sekitar mereka.
Salah seorang mengaku telah
10 tahun memendam
kebencian kepada wanita yang
menjadi istri kedua ayahnya.
Si ayah yang dijuluki orang
paling sholeh di kantornya
tanpa diduga mempunyai
''simpanan.'' Wanita ini
kemudian dinikahinya, dan
akhirnya meninggal karena
stroke lima tahun lalu. Tapi,
kemarahan dan kebencian si
anak hingga kini belum juga
mereda.
Musuh kita sebenarnya
bukanlah orang yang
membenci kita tetapi orang
yang kita benci. Ada cerita
mengenai seorang lelaki
bekas tapol di zaman Orde
Baru yang mengunjungi
kawannya sesama eks tapol.
Sambil mengobrol si kawan
bertanya, ''Apakah kamu
sudah melupakan rezim Orde
Baru?'' Jawabnya, ''Ya, sudah.''
Si kawan kemudian berkata,
''Saya belum. Saya masih
sangat membenci mereka.''
Lelaki itu tertawa kecil dan
berkata, ''Kalau begitu,
mereka masih memenjara
dirimu.''
kita harus terus berlatih untuk
mengikis sifat dendam
tersebut. Sebagai ilustrasi,
kita bisa belajar dari para
karateka yang berhasil
menghancurkan batubata
dengan tangannya. Pertama
kali memukulnya, bata
tersebut tidak langsung
hancur. Tapi, dia tak patah
semangat. Diulanginya terus
usaha untuk menghancurkan
bata tersebut. Akhirnya, pada
pukulan kesekian, pada hari
kesekian, bata tersebut
berhasil dihancurkan.
Memang, tangannya bengkak-
bengkak, tetapi dia
mendapatkan hasil yang
diinginkan.
Begitu pula dengan hati. Jika
hati dibiarkan sensitif, maka
hati ini akan mudah sekali
terluka. Akan tetapi, jika hati
sering dilatih, maka hati kita
akan semakin siap
menghadapi pukulan dari
berbagai arah. Jika kita telah
disakiti seseorang, kita jangan
melihat orang tersebut, tetapi
lihatlah dia sebagai sarana
ujian dan ladang amal kita
terhadap Yang Maha Kuasa.
Kita akan semakin sakit,
tatkala melihat dan
mengingat orangnya.
Untuk mencapai kebahagiaan,
kita perlu mengubah cara
pandang kita. Sumber
kebahagiaan ada dalam diri
kita sendiri, bukan di luar.
Karena itu jangan terlalu
memusingkan perilaku orang
lain. Sebaliknya, belajarlah
memaafkan. Kunci
memaafkan adalah
memahami ketidaktahuan.
Banyak orang yang
melakukan kesalahan karena
ketidaktahuan. Kalaupun
mereka sengaja
melakukannya, itupun karena
mereka sebenarnya tak tahu.
Mereka tak tahu bahwa
kejahatan bukanlah untuk
orang lain tetapi untuk
mereka sendiri.
Orang yang suka memaki dan
bersikap kasar sebenarnya tak
menyadari bahwa mereka
sedang menzalimi dirinya
sendiri. Suatu ketika ia akan
kena batunya. Inilah
konsekuensi logis dari hukum
alam.
Mempraktikkan konsep
memaafkan akan membuat
hidup lebih ringan. Saya ingat,
saat sedang duduk menunggu
anak saya sekolah pada
minggu lalu, seorang ibu yang
lewat menubrukkan tasnya
yang cukup berat ke kepala
saya, tanpa permisi apalagi
minta maaf. Orang-orang
yang melihat kejadian itu
menggeleng-gelengkan kepala
sambil mencela
kecerobohannya. Saya
mencoba mempraktikkan
konsep ini, dan langsung
memaafkannya. Ibu itu
kelihatannya sedang kalut.
Tak mungkin ia sengaja
menabrak saya begitu saja.
Jika kita menjadi lebih baik,
Tuhan tentu akan memuliakan
kita. Jika Tuhan sudah
memuliakan, maka kita tidak
akan menjadi hina karena
hinaan orang lain. Untuk
mencapai kebahagiaan,
berikanlah maaf kepada
orang lain. Hentikan
kebiasaan menyalahkan orang
lain. Ingatlah, kesempurnaan
manusia justru terletak pada
ketidaksempurnaannya. Hanya
Allah-lah yang Maha Suci dan
Maha Sempurna. Saya
menyukai apa yang
dikemukakan Gerarld G
Jampolsky dalam bukunya
Forgiveness, The Greatest
Healer of All. ''Rela
memaafkan adalah jalan
terpendek menuju Tuhan.''
Itulah kunci kemuliaan diri.
==========================================
Sumber artikel, dari buku:
Sudarmono, Dr.(2010). Mutiara
Kalbu Sebening Embun Pagi,
1001 Kisah Sumber Inspirasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H