Mohon tunggu...
maksimianus jandu
maksimianus jandu Mohon Tunggu... Mahasiswa - belajar menjalani hidup

belajar menjadi manusia..

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Seni Memaknai Pengalaman Meninggalkan dan Ditinggalkan

14 April 2021   17:33 Diperbarui: 16 April 2021   09:56 560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hidup tidak lain adalah sebuah peristiwa perihal meninggalkan dan ditinggalkan. Dua peristiwa ini acapkali menjadi hal yang sangat esensial dalam kehidupan manusia. Bahawasannya sedari lahir hingga saat ini, manusia selalu berkutat dalam dua ranah peristiwa tersebut, antara lain meninggalkan dan ditinggalkan. Kedua peristiwa ini tidak saja dialami manusia secara pasif, melainkan secara aktif dengan memberi makna kepada semua pengalaman hidupnya. Pengalaman itu kemudian menjadi guru yang terbaik bagi hidup manusia. Guru yang mengajarkan tentang bagaimana harus hidup dan bagaimana cara memaknai hidup dalam situasi suka dan duka.

Sedari lahirnya manusia telah mengalami peristiwa meninggalkan rahim ibu. Di sanalah manusia sedang meninggalkan ruang yang lama (nyaman penuh kedamaian) dan mengambil bagian dalam kelompok yang disebut sebagai makhluk yang sedang berziarah. Suatu perkumpulan makhluk yang sedang berziarah dalam dunia yang sarat akan tawaran dan tantangan. Hidup di tengah-tengah dunia yang sarat akan pilihan. Suatu dunia yang menuntut kita agar secepat mungkin memilih dari berjuta-jutaan pilihan hidup yang ada. Lagi-lagi kita terjebak dalam pengalaman meninggalkan. Rasanya senang-senang saja meninggalkan yang lama. Tetapi untuk apa?

Memilih satu dari sekian banyak pilihan yang ada berarti kita dituntut untuk setia dan memberi makna yang lebih terhadapnya. Apakah ukuran kesetiaan kita dalam melakoni hidup kita? Kerapkali ukuran yang kita pakai untuk mengukur tidak sama dengan ukuran yang sedang dipakai oleh orang lain. Dalam konteks dunia percintaan, orang acapkali ditinggalkan oleh kekasihnya lantaran tidak setia pada janji atau lebih tepatnya kurang mampu membangun dialog. Tidak jarang juga kita ditinggalkan oleh orang yang kita cintai; orangtua, sahabat, pkekasih dan orang yang membenci kita. Lalu apakah gunanya kita hidup jika hanya mengalami dua peristiwa tadi, yakni meninggalkan dan ditinggalkan?

            Ada seorang filsuf klasik yang bernama Plato menandaskan demikian, "Manusia adalah manusia yang ingin selalu mengejar kesempurnaannya. Ia bukan entitas yang tetap sepanjang masa. Ia hidup; dan hidup itu berziarah; dan berziarah itu berjalan, berlari mengejar kesempurnaannya." Rupanya seorang filsuf klasik ini menghantar kita pada sebuah jawaban bahwa karena mengejar kesempurnaanlah yang mendorong manusia untuk jatuh pada ranah pengalaman meninggalkan dan ditinggalkan.

            Aktivitas berziarah berarti kita sedang berusaha meninggalkan yang lama dan menggapai yang baru. Pada saat yang sama kita ditinggalkan oleh pengalaman suka dan duka masa lalu kita. Lantas apakah kita harus membungkusnya dengan rapi, lalu dibuang tanpa memberi makna atasnya?  Perlu diingat bahwa "Hidup yang tidak direfleksikan merupakan hidup yang tidak layak dihidupi." Demikian Socrates mengatakan tentang hidup. Dengan demikian, hidup itu adalah sebuah aktivitas memaknai setiap pengalaman hidup. Pengalaman meninggalkan dan ditinggalkan harus dimaknai dengan baik.

            Perihal pengalaman meninggalkan dan ditinggalkan, sebetulnya dua pengalaman yang menuntut kita untuk memberikan makna dari setiap perstiwa hidup. Sebuah makna positif yang dapat memacu kita menjadi manusia bijak dalam segala hal. Menjadi manusia yang bebas dalam berelasi dengan pengalaman-pengalaman hidup. Baiklah kita mengutip kata dari seorang filsuf kontemporer (Rm. Pius Pandor, CP) dalam salah satu bukunya yang berjudul 'Seni Merawat Jiwa'. Beliau menandaskan demikian, "Menjadi manusia utama adalah cita-cita kita semua. Untuk itu Pendidikan dan habitus baru merupakan prasyarat yang mau tidak mau harus dipenuhi. Jika tidak, kita akan terjerumus pada pola hidup yang hanya mengejar prestasi, kekayaan, kekuasaan, dan ketenaran. Akibatnya, kita lebih mementingkan supervisialitas dan citra daripada kedalaman hidup."  Akhir kata, diskursus perihal meninggalkan dan ditinggalkan pada dasarnya sebuah dorongan bagi kita untuk sedini mungkin memaknai setiap pengalaman secara positif dan bersifat konstruktif.    

##Anak Pondok Kebijaksanaan Malang##

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun